Skeptisisme
Menurut KBBI, Skeptis berarti kurang percaya atau ragu-ragu, sedangkan skeptisisme, seperti kata-kata yang berakhiran –isme lainnya, adalah aliran atau paham yang selalu memandang sesuatu tidak pasti. Walaupun baru santer terdengar pada sekitar awal abad ke-17, sebenarnya, konsep dasarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno ketika Socrates menyatakan bahwa dia meragukan dirinya sendiri dan apa yang dia lihat. Konsep dan istilah ini dipopulerkan oleh Rene Descartes.
Descartes menyadari bahwa sejak dia kecil, banyak kepercayaannya yang ternyata salah. Dia mulai berpikir bagaimana jika apa yang dia percayai saat ini juga ternyata salah—dan dia belum menyadarinya. Sejak saat itu, dia ingin memastikan bahwa dia tidak berpijak pada sesuatu yang salah lagi, alhasil, dia meragukan semua kepercayaannya—sampai dia bisa yakin mengenai kebenarannya.
Analoginya adalah dia sedang memegang sekeranjang buah apel. Dalam keranjang itu, mungkin ada beberapa buah apel busuk yang bisa ‘menular’ ke apel lainnya, dia pun mulai memeriksa apelnya. Namun, mungkin juga apel yang berada di paling bawah keranjangnya juga busuk. Oleh karena itu, dia mengeluarkan semua apel dan memeriksa satu-satu sebelum memasukan kembali ke keranjangnya.
Awalnya, Descartes menginspeksi ulang semua hal sebelum masuk ke sistem kepercayaannya menggunakan metode empiris—sistem indra. Dia menyadari bahwa sangat mungkin ada kecacatan dalam metode empirisnya karena dia tidak selalu bisa memercayai kelima indranya tersebut. Banyak sekali kondisi eksternal dan internal yang dapat mengganggu dan memengaruhi indranya dalam memersepsikan rangsangan.
Keraguan Descartes berlanjut menjadi lebih radikal. Dia berpikir bagaimana jika semua yang dia percayai selama ini, semua persepsi yang dia miliki, semua pengalaman yang dia alami, dan semua pikirannya telah ditanam oleh sang “evil genius” yang menciptakan sebuah dunia khayalan yang takkan pernah terdeteksi kebenarannya.
Saat itu, dia meragukan semua hal, termasuk diri dan persepsinya sendiri. Namun, ada satu hal yang tidak dapat dia ragukan: keadaan bahwa dia sedang meragukan sesuatu. Pada momen itulah, Descartes menyadari bahwa ketika dia meragukan sesuatu, setidaknya dia merupakan sebuah entitas yang memiliki alat untuk berpikir.
Descartes mendeklarasikan pemikirannya tadi sebagai Cogito Ergo Sum (I think, therefore I am).
Tanggapan terhadap Skeptisisme
Seorang yang skeptis bukanlah orang yang meragukan segala sesuatu dan hanya diam hingga akhir hayatnya; skeptis bukan pula sebuah keputusan final bahwa suatu hal benar atau salah dan bernilai baik atau buruk. Seorang yang skeptis sangat menjunjung tinggi kebenaran, sehingga, dia selalu mempertimbangkan segala sesuatu menggunakan pelbagai kerangka berpikir.
Dalam dunia filsafat, ada dua kerangka berpikir untuk memahami hakikat kebenaran: empirisisme dan rasionalisme.
Menurut KBBI, empirisisme merupakan “aliran ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris; dan teori yang menyatakan bahwa semua pengetahuan didapat dari pengalaman”; sedangkan rasionalisme, merupakan “teori yang menganggap bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan permasalahan mengenai kebenaran yang lepas dari jangkauan indra; paham yang lebih mengutamakan kemampuan akal daripada emosi atau batin.”
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, Descartes lebih memilih cara berpikir rasionalisme karena dia menyadari adanya keterbatasan-keterbatasan indra manusia. Namun, rasionalisme dinilai berpijak pada sesuatu yang bersifat abstrak dan metafisik, dan hal inilah yang kerap ditolak oleh orang-orang empiris-materialis yang hanya menerima ‘realitas’ sebagai sesuatu yang bisa dipersepsikan oleh indra.
Sekarang, pengertian keduanya (terutama rasionalisme) sudah semakin luas dan semakin banyak embel-embel yang ditambahkan sebelum dan sesudah istilah tersebut.
Walaupun kedua kerangka berpikir ini ada di dalam diri manusia yang seharusnya dapat memanfaatkan keduanya, perdebatan empirisisme dan rasionalisme kerap terjadi antara orang yang berpandangan dualisme, dan berpikir bahwa jika yang satu benar, maka yang satunya (harus) salah.
Bacaan lebih lanjut: Stanford Encyclopedia of Philosophy: Descartes’ Epistemology
Agnostisisme
Berdasarkan KBBI, agnostisisme merupakan “paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi.” Dalam The Sage’s English Dictionary and Thesaurus, agnostisisme dimaknai sebagai penyangkalan atau skeptisisme terhadap eksistensi Tuhan.
Kaum agnostik yang ada di benakku adalah kaum esoteris yang menunda keputusan mereka; para pemikir yang masih menimbang-nimbang perspektif yang satu dengan yang lainnya; yang masih mencoba memahami metafisika dan narasi agung dari hakikat semesta.
Sayangnya, wajah agnostisisme yang aku lihat sekarang bukanlah merupakan sebuah paham yang skeptik terhadap eksistensi Tuhan, bukan pula paham dimana orang-orangnya terus belajar, mengkaji ilmu, dan mencari tahu kebenaran absolut. Kaum agnostik yang paling sering ‘muncul’ dan ‘berkoar-koar’ di media sosial dan forum-forum kontemporer adalah orang yang sangat sangat sangat yakin bahwa Tuhan itu tidak ada (ateis) dan yang malah menentang keberadaan Tuhan (anti-teis).
Selain itu, orang-orang agnostik ‘kekinian’ ini adalah orang yang sangat bersifat anti terhadap agama—terutama Islam. Seringkali aku mendapati akun-akun resmi atau pribadi yang ‘asal comot’ berita manapun—baik itu yang jelas sumbernya maupun hoax—mengenai segala sesuatu yang menggambarkan beberapa organisasi masyarakat yang melakukan pembubaran atas acara-acara perkumpulan Islam Syiah, komunitas LGBT, Ahmadiyah, dll.
Aku tidak tau secara pasti seperti apa acaranya dan bagaimana proses pembubarannya. Di sini, akupun tidak ingin menolak dan mengindahkan acara pembubaran tersebut. Namun, aku, selaku orang yang sudah belajar Analisis Wacana, cukup memahami bagaimana subjektifnya sebuah pemberitaan itu. Se-objektif apapun sebuah pemberitaan, kita tidak bisa terlepas dari bias. Bahkan, keputusan media atau perorangan untuk menampilan sebuah tulisan A daripada tulisan B pun dapat menunjukan bias, preferensi, maupun orientasi dan ideologi sosial-politik. Nyatanya, tulisan yang diterbitkan oleh akun agnostik resmi maupun perorangan itu adalah salah satu tulisan yang paling subjektif yang pernah aku baca (selain curhatan anak-anak SMA di laman Facebook), yang mengandung belasan kata sifat yang menunjukan luapan emosi. Setelah aku telusuri, beberapa berita tersebut, ternyata ditulis oleh pihak yang acaranya dibubarkan (pantas saja). Setelah itu, beramai-ramai, mereka—dengan menganggap berita itu sebagai fakta absolut—menghujat dan memberi keputusan final bahwa karena ormas Islam tersebut intoleran, agama Islam pun berarti intoleran.
Mereka paling suka menggunakan Kecacatan Berlogika atau Logical Fallacies (yang mereka dapat dari Google 5 menit sebelum mereka berteori) sebagai alat berargumentasi yang menunjukan betapa rasionalnya mereka, sebagai antitesis dari kaum beragama yang, menurut mereka, hanya bisa ‘percaya’.
Bukankah itu berarti Ad hominem ya apabila menyerang sebuah narasi besar hanya karena kepribadian atau karakteristik dari beberapa pemeluknya?
Beberapa orang agnostik yang kukenal atau kulihat berkata bahwa mereka tidak tahan melihat para teroris dan para kaum beragama yang berpikiran sangat sempit; yang melihat dunia sebagai suatu dikotomi hitam-putih.
Namun, topeng, wajah, dan persona mereka yang aku saksikan semakin mengarahkanku untuk berpikir bahwa orang-orang itu sama saja dengan para teroris fundamentalis yang sering melakukan aksi pemboman. Mereka menolak narasi, agenda, kepentingan, dan perspektif orang lain.
Mereka memilih untuk melihat dunia dengan melalui perspektif yang menurut mereka nyaman, atau mungkin berlindung dibaliknya; dan akhirnya, mereka menjadi orang yang mereka benci.
Aku ingat kata-kata Hermann Hesse yang sering didiskusikan dalam forum Behavior Psychology, bunyinya:
“If you hate a person, you hate something in him that is part of yourself. What is not part of yourselves does not disturb you”.
Menurutku, padananya kira-kira:
Jika Anda membenci seseorang, sebenarnya Anda membenci bagian dari diri Anda yang terefleksi pada orang itu, karena jika tidak, Anda bahkan tak akan merasa terganggu.
________________________
_____________________
________________________
Tulisan ini pun tidak terbebas dari bias. Aku tidak mencantumkan beberapa sumber yang aku baca karena aku terlalu malas untuk membuka-buka lagi artikel atau buku yang telah kubaca beberapa minggu atau bulan yang lalu. Lagipula, blog ini bukanlah sebuah jurnal ilmiah.
0 comments :
Post a Comment