Tentang Pengorbanan

Manusia modern mungkin menganggap ritual pengorbanan yang telah dilakukan oleh manusia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu sebagai hal yang gila dan tak masuk akal. Mereka mengorbankan apa yang mereka cintai, miliki dan bahkan diri mereka sendiri kepada suatu entitas transendental sebagai pembuktian loyalitas dan kebaktian mereka atau agar keinginan-keinginan mereka terpenuhi.

Dalam tradisi agama Samawi, pengorbanan sudah mulai dilakukan oleh putera-putera Adam, Habil yang seorang peternak mengorbankan kambing dan Qabil yang seorang petani mengorbankan hasil taninya. Namun Tuhan hanya puas dan menerima pengorbanan Habil (karena dia mengorbankan miliknya yang terbaik, sedangkan Habil tidak). Bahkan dalam Islam, ada hari besar untuk memperingati kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan Ismail, anak kesayangannya. Selain itu, pengorbanan benda dan manusia telah dilakukan kepada sosok gaib di Yunani, Mesir, Arab, Amerika Kuno dan berbagai zaman serta kebudayaan lain.

Gasasan dibalik pengorbanan yang paling kukagumi adalah keseriusan yang ditanam dalam setiap ritual yang orang-orang itu lakukan. Aku tidak pernah merasa dapat membuktikan keseriusan dan kebaktianku—setingkat dengan mereka—pada entitas transenden yang kuimani.

Walaupun pengorbanan yang dilakukan dahulu dan sekarang berbeda, namun secara filosofis, keduanya dilakukan untuk memastikan—atau menjaga kemungkinan—suatu kondisi yang lebih baik atau positif di masa depan, baik moril atau materil. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan ‘masa kini’. Ada banyak hal yang secara simbolis ternyata termasuk ke dalam kategori pengorbanan. Salah satu bentuknya adalah yang mengakibatkan rasa sakit, seperti ritual khitan di mana laki-laki, pada umumnya, mengorbankan bagian tubuhnya sebagai bentuk keseriusan ibadah atau memastikan suatu kondisi medis yang lebih baik di masa depan. Ada pula kegiatan menato tubuh yang merupakan suatu transformasi identitas diri menjadi manusia yang mendesain dirinya sendiri. Tentu saja proses pentatoan tersebut mengakibatkan rasa sakit, namun itulah pengorbanannya, rasa sakit itu penting sebagai tanda pengingat, secara simbolis, adanya suatu tekad dan keseriusan mengenai transformasi diri.

Aku rasa bekerja merupakan suatu pengorbanan di mana orang-orang mengorbankan waktu, tenaga, dan kesehatannya untuk menjaga kemungkinan bahwa di masa depan, kehidupan mereka atau penerus mereka akan lebih baik. Jika bekerja adalah suatu pengorbanan, maka negara adalah badan yang menyimpan pengorbanan-pengorbanan manusia. Suatu negara dapat dikatakan stabil apabila negara tersebut dapat menyimpan pengorbanan masyarakatnya serta tetap menjanjikan ganjaran dan jaminan di kemudian hari, itulah yang menyebabkan masyarakat tetap melakukan pengorbanan yang menggerakan roda peradaban.

Aku sering mendengar ungkapan bahwa hidup itu cuma sekali, oleh karena itu, nikmatilah hidup! Lakukanlah apa yang membuatmu senang dan bahagia saat ini juga! Filosofi ini yang mungkin menjadi antitesis dari perkembangan, karena perjuangan, dengan cara belajar, bekerja, memulai bisnis, berperang, sampai beribadah pun membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan adalah perjuangan antara kenyamanan masa kini dan janji-janji masa depan, yang selalu dimenangkan oleh masa depan.

________________________________________
_______________________
________________________________________




Aku merasa ada suatu mekanisme primitif, yang lebih tua dari diriku sendiri, yang tidak boleh diabaikan. Mekanisme hewani yang menuntutku untuk menggenggam apapun yang membuatku bahagia saat itu juga. Aku tahu jawabannya adalah ekuilibrium. Namun, banyak hal bersifat terlalu dikotomis, yang tak ada titik tengahnya.






Random Thoughts in the Afternoon—until Midnight


I am in my porch, this afternoon. I like watching the sun when it rises or sets, but I lose count of how many sunrises and sunsets that I missed. One time I was by a beach in the south. It was 3 AM and I decided that I was going to sit on a bench by the shore, waiting for the sun to rise. It is strange how in one occasion, I chase it and in another I almost don’t care about it, especially when I am at home or office. 

Anyway, I read a magazine a few years ago. It says, statistically speaking, up to 80% of people don’t like their job. I just don’t know why. I like my job. I like it too much, perhaps. After I resigned, at times, I woke and got myself prepared for working. I am supposed to feel free, now. What is freedom, anyway? If I were free, I can do what I want to do.

I like when the sun is setting. The way it paints the sky with such wonderful layers of gradations.

I remember 10 years ago, at this time, I was going home from a madrasah (Islamic school) that I and my sister had to attend after school (we started school at 1 PM). I can picture everything all the way from the madrasah to my house, the river, the dark alley, the smell of fried bakso (meatball) that we almost always bought. We all used to run and play hide-and-seek until it was dark and our parents asked us to go back home. I used to have many friends. Then, I had to bid farewell when we moved, and then I had to find other friends, and then we moved again, and then I had to find other friends again. This loop happened for 6 times and then I didn’t bother looking for friends anymore. Even as a boy, I was forced to see everything as transient. I will always lose what I dear and have to keep moving on whether I am ready or not. Like Santiago, the old fisherman who had to let the sharks eat his large marlin (that he finally caught after a tiring fight for days) in Hemingway’s novella “The Old Man and the Sea”.

I cannot see the sun any longer. The sky turn into dark and light purple.

Perhaps this is life. Even the day has to bid farewell to the sun every day. 

No! It is different. The day knows that same sun will come back tomorrow. But how about me? All things that I dear will only be a memory as I will be for them. And memory is transient, dynamic and changing, unlike photograph. I like seeing my old photograph—photograph when I was young—and tell stories of when and where it was taken and what I was like. It is strange how I can bridge a two dimensional picture of a boy and me. I mean, is that truly me? There is a finding in neurobiology stating that the cells in our body are dying and living every day. Thus, in 6-7 years, we are completely a new different person. 

What am I actually? I am not this hand, head, brain or any other biological organs for if those organs are taken, people will still call me ‘me’. I am not my thought for it is dynamic and changing. I am not ‘the soul’ or ‘the spirit’ or ‘the life’ for when I die, people will still associate this body with me. They even bother taking care of this body or put my name in my gravestone.

I hear the adzan. It reminds me of the stories that my parents told me (that their parents told them) that at this time, the jinn, ghosts and all the dark supernatural beings woke up. So, everyone had to go inside and close the door, at least until after 7. This time too, I will.

***

It is truly a good night. The moon is full and there are some stars. I don’t see the moon like the poets or romantics. The moon does not inspire me or anything. It somehow just reminds me of a windy night in a far city by the beach. Anyway, I am not supposed to talk about it. 

I am forgetful. I can forget anything instantly. At times, I cannot even remember a four-digit number. I almost always forget names and things. That is, perhaps, one of the reasons I do not consider myself a ‘social’ person. But, at times, I am amazed by how something (a sight, a smell, a sound, a taste or a texture) can conjure a moment in such details. A smell of perfume or any random smell can remind me of a person. A seat in a public transportation can bring me into a specific moment. It can be a torture, sometimes, when it takes me to remembering a person or moment that I want to forget.

It is a windy night also, here. The night is getting late and cold but I don’t care. These days, I sleep and wake at any time I want to. I like to see the road when there is no people. Like when I jogged at the first morning of 2018. It is so tranquil. There are moments when I don’t like people in general. They are boring. They walk and do anything the way they are told to do. I would rather watch a cat, bird or other animals for hours. They are instinctive and unpredictable. They do anything as they wish. Human are like that too when they were babies, when a lot of things have not change them. I think we all used to have this big transparent bubble surrounding us. As we grow up, the bubble starts to get smaller and smaller.

I was curious why rats are used as subjects of behavioral research. They are identical to human. Years ago, I read an article on overpopulation. It says when the population of rats is skyrocketing, it can be nasty. Some of them turn into cannibals, some others rape each other, regardless of the sex, until they died. I don’t know if the research is valid or not. Anyway, it sort of foretells what will happen (or is happening) in human.

Speaking of sex, I disagree with those associating (sexual) lust with animalistic libido because most animal have sex only when the female is ovulating, or when they want to generate offspring. As in Sex at Dawn by Christopher Ryan, it is reasonable since having sex can be dangerous for they cannot be cautious when predators come and it drains their energy as well. But, human, chimps, chimpanzees and other highly social primates have sex almost all the time. They have sex when the female is not ovulating, in post-menopause phase, pregnant, in lactation phase. They even have sex with same sex and use condoms. So, we are insulting animal when we call a person an animal (sexually speaking).

My little brother likes animal. We used to have 2 cats. I am the bad kid and he is the good kid when it comes to cats. I used to kick them when they were at my feet. We took one cat when we moved, another was out when we moved. Seven years later, we lost it for a week, and I found it dying in a parking spot. It died in my hands. My brother cried when we buried it. I played it cool, but it was sad and then I cried too, even though I was 20. No one knows.

I always have this idea that nobody shall see me crying, that what they could see is me when I was happy or at least at my neutral state.

It is midnight. I have no idea what I am writing. I sort of blurting out what comes into my mind. Anyway, this is what it feels to be me. This is how I think. It is incoherent. It is chaotic. 






_______________________________
______________________
_______________________________








On Self-Image: What Kind of Person am I?

I almost always screw up during interviews, even in the first two questions. I screw up in “tell me about yourself” and “what kind of person are you?”

It is not that I don’t know myself. I have been trying to psychoanalyse myself in the last three years. However, the more I figure out, the more I find out the stranger in me.

I once read a concept called ‘self-image’. Basically, it is the way I see myself. It can be personality, occupation, dream, looks, etc.

Psychologist often differentiate person as having positive and negative self-image. Those with positive self-image perceive themselves as good, unique, smart, cool, beautiful, handsome, popular, open-minded, noble, modest, or/and other positive attributes anyone may think of. 

Meanwhile, those with negative self-image oftentimes see themselves as insufficient, shy, small, ugly, boring, unworthy, stupid, short, lazy, evil, broke, sensitive, fat, weird or/and other negative attributes.

The problem is that either need validation or acknowledgement from others. The positive self-image people need it to ensure that they are still what they think. For example, a ‘popular’ person will re-think about his/her popularity when his/her tweet only gets 3 retweets. 

If a ‘popular’ person lost his/her popularity, what is he/she, then?

Similarly, those with negative self-image also requires other people’s opinion and comment to help them improve. A person who was labelled ‘insufficient’ by his/her parents/lover will try so hard to do anything perfectly and in order. It is to please that person or merely to make him/her feel better about him/herself.

What about me?

I have been trying to kill my self-image.

I see self-image as a house. When I was born, I didn’t have it. Then, I started piling up bricks and building some walls to protect me from the rest of the universe. There are many rooms in my house. I name it confident, smart, introvert, open-minded and weird. There are actually many more rooms in the dungeon; but it is too dark to even identify what is what. I painted and renovated my house several times. People always have something so say about it. Sometimes they said it is too big, too small, too light, too dark.

I am destroying my house from the inside out.

My self-image is as imaginary as the house. They both are built upon thoughts and stories that I—or others—have been trying to liven up and materialise in my head.

So, what kind of person am I?

I am both smart and stupid. I am aware and ignorant. I am a hard worker and lazy person. I am both handsome and ugly. My life is both useful and useless. I am sympathetic and apathetic. I am worthy and worthless. I have experienced life and death.

I am everything and everything is me.




Before me, the energy—that forms me—floated around in the universe. After me, the energy will float again.


Am I the vessel or the energy?


___________________________________
___________________
___________________________________


Last year, I posted something on this topic, but it is more of a rant (https://nantahananta.blogspot.co.id/2016/02/our-little-secrets.html). 





A Blast of October

I have striven to live my life with even a tiny bit of awareness. I know I have been sleepwalking the whole time, but I tried to wake up in between seconds. I must have missed most of what happened this month. Anyway, with the limit of my perception and clouds in my awareness, I sort of like this month. 

Physically, I am still standing in my starting point when I firstly came to this city. Financially, I am still a broke with no clear future. Particularly, this month has nothing to ponder about but some ups and downs—mostly downs, though.

I don’t know what kind of person I am. I feel a certain kind of longing for melancholy and sufferings. I remember moments happened in this month when I was drenched for an hour, when I was worn out, when I could not sleep for the noises in my head, when I was overwhelmed by guilt, when I got into an accident, when I was physically in pain and when I was broken. The depressive energy somehow puts things into perspective.

I am somewhat happy.

It feels like I have traveled a long journey full of shards and blaze. Overall, I am grateful for that. Each obstacle that I passed has grows me. I have become stronger and wiser.

I am looking forward to meeting more obstacles. Big-challenging-frustrating-overwhelming-deadly obstacles. I am waiting for them with open arms.

I will remember each moment happened in this month. If my life were a book, these moments would be in a separate chapter that constitute a plot to my story.


________________________________________________
___________________________________
________________________________________________


This month has not even ended yet, but I close it with a smile.




The Nineteenth Day of September

This day, he manages to wake up. He looks up the window. It is very dark. He likes that morning. In fact, He likes all mornings. It is silent… serene. He is so refreshed even though he does not sleep much this day.

His eyes fly to the wall where he put a mark every day. He looks away immediately.

Only he knows that he does not believe in that day. “Why do we have to celebrate our lives in the 365th day? The 100th day will be catchy, though”, he mumbles.

Anyway, the force is too strong. It is hard for him not to follow the others on this. His memory resurfaces. He remembers that he has set his biological time at 50. It may be faster, but it is okay for him. Anytime is the same.

This day marks the half of his time.

He gets up and sits by the side of his bed. Thinking. Random memories have just shot him in the head. He remembers moment by moment of his life as if a short film that recurs in a loop. His life seems to have just begun. It is only a blink of eyes. He is born, he goes to school, he graduates and there he is. He wants to drink more water of life.

At the same time, he is so weary. He feels that he has been living for centuries. He experiences everything. Sadness, pain, disappointment, betrayal, happiness, love and emptiness. He has reached a point on a highest mountain, unable to look up or down due to the fog. He is too tired to continue climbing or get back down. He is not desperate. He is satisfied.

He wants to stop, lay down and sleep again. Alone. Forever.

________________________
__________
________________________




Mengapa Kerangka Berpikir Kita Berbeda

Sejak lulus kuliah pada Juli 2015, sampai mendapatkan pekerjaan tetap (pekerjaan 8 jam) pada Mei 2016, aku punya banyak sekali waktu luang. Sekitar 6 bulan pertama, aku hanya bekerja di akhir pekan (sebagai pramuwisata) atau menjadi pekerja lepas sebagai penerjemah dan panitia (LO) di beberapa kegiatan. Pada saat itulah aku mulai tertarik untuk membaca hal-hal di luar bidang studiku. Aku mulai membaca buku dan artikel terkait psikologi, filsafat, sejarah, politik, dan kajian humaniora lainnya.

Aku ingin memahami sesuatu dari berbagai sudut pandang sebelum menentukan sikap. Seperti seorang pecandu, aku mendapatkan kepuasan tersendiri ketika mendapatkan suatu pola setelah menganalisis sesuatu.

Awal 2016 aku tidak sengaja menemukan suatu artikel menarik mengenai Model Bio-Psiko-Sosial Clare W. Graves (dikenal juga sebagai Spiral Dynamics). Hal yang menarik adalah modelnya dapat menjelaskan kompleksitas evolusi yang telah, sedang, dan akan terjadi dalam tataran individu dan masyarakat. Menurutku, model ini menawarkan suatu pola yang cukup efektif dalam melihat hampir semua fenomena yang terjadi.

Menurut Graves, dinamika yang terjadi dalam diri seorang manusia dan masyarakat bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontan, namun, lebih seperti transisi gradual yang terarah. Transisi ini, menurutnya, dapat dibagi menjadi 8 tingkat evolusi. Tingkatan evolusi ini terjadi di psikis individu dan masyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu, oleh karena itu, tingkat psikis sebuah masyarakat merupakan gabungan dari psikis para individunya.

Berikut adalah ringkasan dari tiap tingkat-tingkatnya.

1. BEIGE
Ini adalah tingat paling dasar dari psikis seorang individu. Pada tingkatan ini, yang dipikirkan hanyalah bertahan hidup dan mencari makanan. Individu dalam tingkat ini adalah para generasi awal yang menempati posisi terendah dalam teori Darwin.

Beige bersifat Instingtif.

Di era modern, individu yang ada pada tingkat ini adalah para bayi yang belum dapat beinteraksi dengan orang di sekitarnya atau orang-orang yang berada di hierarki terbawah dalam piramida Abraham Maslow. Dalam Hierarchy of Need-nya Maslow, kebutuhan paling manusia dasar haruslah terpenuhi sebelum ia dapat naik ke hierarki yang lebih tinggi. Contohnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, kemungkinan tidak akan mampu untuk bersosialisasi dan berkesenian.

Pada tingkatan ini, masyarakat belum terbentuk.

2. PURPLE 
Individu-individu Beige mulai berkumpul membentuk suatu kelompok Purple karena mereka menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan bertahan hidup lebih besar jika bekerja sama.

Purple menjunjung tinggi tradisi, penghormatan atas arwah leluhur dan para tetua, ikatan keluarga, berbagi, ritual, kerja sama.

Purple bersifat Animistik.

Kelompok Purple belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, mereka memandang dunia sebagai suatu hal yang misterius. Di sinilah muncul kepercayaan Animisme. klenik, perdukunan, dsb. 

Di era modern, kelompok Purple adalah suku-suku pedalaman. Selain itu, banyak pula orang yang masih mengadopsi psikis Purple, diantaranya orang-orang yang masih mempercayai pengobatan dengan darah ayam, sate gagak, dan masih banyak lagi. Selain itu, nilai-nilai Purple mengenai penghormatan pada leluhur dan tetua masih sangat kental di Indonesia dan beberapa negara di Timur.

Pada Purple, tidak ada sifat individualistik karena identitas seseorang merupakan identitas sukunya. Di tataran individu, Purple belum memiliki kepribadian/identitas karena masih sangat tergatung pada orang di sekitarnya. Hal tentang personhood ini kerap didiskusikan dalam filsafat moral.

3. RED
Pada Red, beberapa orang Purple mulai berpikir, “Aku orang yang paling kuat di suku ini. Kenapa aku setara dengan mereka?” 

Hukum rimba berlaku di Red. Beberapa orang mulai memisahkan diri dari sukunya. Dengan kekuatan fisik, mereka mengambil apapun yang mereka inginkan, rumah, ladang, dan para wanita (karena sangat terkait dengan kekuatan fisik, pada awalnya, Red didominasi oleh para pria).

Red bersifat Egosentrik. 

Era Red tidak hanya terjadi dalam konteks kesukuan. Tingkat ini juga mencakup munculnya raja-raja, diktator, dan ketua-ketua gangster. Orang Red tidak peduli dengan yang lain. Jika mereka mengingikan sesuatu, mereka akan mengambilnya dengan cara apapun, seperti merampas, merampok, mencuri, atau membunuh orang yang memiliki benda yang mereka inginkan.

Jika ada yang menentang kekuasaannya, dia tidak segan-segan untuk melenyapkannya. Pada tingkat ini, kekuasaan ditentukan oleh kekuatan fisik, senjata, dan anggota.

Nilai-Nilai Red diantaranya kehormatan, kontrol, dominasi, kesenangan.

Di era modern, Red adalah para pemberontak, gangster, perompak, sindikat, atau kelompok lain yang menggunakan kekerasan fisik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Selain yang menjurus ke arah kriminal, individu Red juga mencakup anak kecil yang secara alami sangat teridentifikasi dengan dirinya sendiri. Kita semua mengalami tingkatan ini, di mana kita belum memiliki kapasitas untuk berempati.

Menurutku, pada beberapa hal, pemerintahan Suharto terindikasi Red (berpadu dengan Blue), orang yang memiliki ideologi berbeda dengannya akan lenyap dengan segera baik itu kaum intelektual ataupun masyarakat biasa. Pada beberapa literatur, salah satunya karya Seno Ajidarma (aku lupa judulnya 😳) aku pernah membaca bahwa pemerintah mempekerjakan banyak penembak misterius. Pada literatur tersebut, digambarkan suatu keadaan mencekam di mana banyak peluru yang menyasar dan banyak mayat-mayat (kebanyakan preman) bertebaran.

4. BLUE
Masyarakat pada era Red mulai menyadari bahwa mereka harus melakukan sesuatu karena mereka tidak ingin terus-menerus hidup dalam ketakutan dan tekanan. Di tingkat Blue inilah mulai terjadi pemberontakan dan revolusi. Seperti demo besar-besaran untuk menjatuhkan rezim Suharto tahun 1998 atau Revolusi Perancis yang meruntuhkan sistem kerajaan Perancis pada abad ke-18 silam.

Pada Blue, kekuasaan pun kembali jatuh ke tangan masyarakat. Pada tingkat ini, peradaban mulai dimulai. 

Tidak seperti pada Red, di sini hukum-hukum absolut mulai muncul. Pemikir-pemikir filsafat politik seperti John Locke, Rousseau dan nama-nama lain (yang ada di buku PKN 😀) bermunculan di sini. Prinsip-prinsip hukum mulai diformulasikan dan ditegakkan.

Selain hukum kenegaraan, hukum agamapun mulai ditegakkan (secara formal) di sini. Agama-agama besar memiliki lembaga dan berkembang menjadi suatu pedoman hidup yang lebih mengikat. Hal ini terjadi di Blue karena agama, seperti negara, membutuhkan birokrasi dan suatu peraturan yang mengikat. 

Blue dikenal sebagai Absolutis. 

Individu dan masyarakat Blue meyakini bahwa hukum, agama, dan pedoman hidup yang mereka pegang bersifat absolut, universal, dan yang paling benar. Blue berpemikiran dualisme, yang melihat segala sesuatu dalam skala hitam-putih. Hanya ada satu ajaran agama yang benar; hanya ada satu ideologi yang benar; hanya ada satu sistem politik dan ekonomi yang benar, yang merupakan default

Kontrol sosial dalam masyarakat Blue kembali pada kelompok. Individu-individu tidak dapat banyak mengutarakan pendapat maupun kritiknya.

Dalam tataran kenegaraan, menurutku, contoh masyarakat Blue adalah Imperialisme Eropa. Mereka masuk ke masyarakat Purple di pedalaman Afrika, Amerika Latin, Asia, dan tempat lainnya untuk mengajari bahasa, paham-paham, dan agama mereka. Selain itu, ada juga fenomena Arab Spring yang terjadi di beberapa wilayah Red dan Blue di Asia Barat (Timur Tengah) dan Afrika Utara, di mana terjadi pemasukkan sistem demokrasi untuk menggantikan sistem terdahulu.

Selain Imperialisme, dalam tataran ideologi dan kepercayaan, muncul pula para fundamentalis dan teroris yang memiliki satu pemikiran absolut yang paling benar menurut pandangan mereka. Mereka akan berusaha memertahankan status quo yang mereka anggap sudah baik bagi mereka, atau mengubah sebuah status quo tersebut apabila keadaannya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Dalam konteks kepercayaan, menurutku, banyak individu/masyarakat dengan berbagai keyakinan (animisme, politeisme, monoteisme, dan keyakinan lainnya) yang memiliki catatan hitamnya tersendiri yang berkenaan dengan pemaksaan pemikiran/keyakinan mereka. 

Di kalangan individu, kebanyakan pada remaja Blue, ada cara/gaya hidup default di mana remaja yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan orang kebanyakan, akan mendapat hinaan dan dianggap aneh. Menurutku, di sinilah sebenarnya akar permasalahan dari bullying. Anak yang paling sering di-bully adalah mereka yang gagal untuk mengikuti tren, cara berbicara, cara berjalan, gaya hidup, orientasi seksual, ataupun yang secara fisik ‘berbeda’ dengan apa yang ‘ditentukan’ sebagai default oleh mayoritas.

5. ORANGE 
Beberapa masyarakat Blue mulai berpikir bahwa negara, masyarakat, dan agama terlalu mengikat kebebasan mereka. Ego mereka mulai mencoba untuk keluar dari absolutisme masyarakat Blue. Pada saat itu, mereka mulai berubah menjadi Orange

Orang-orang Orange mempertanyakan nilai dan norma, atau status quo yang ada dalam masyarakat, negara, dan agama. Di sinilah awal mula munculnya gerakan-gerakan pembebasan terstruktur seperti feminisme yang menuntut penyetaraan gender. Dengan mulai bertanya, “Mengapa nilai dan norma di masyarakat cenderung bias pada gender tertentu? Mengapa para CEO didominasi oleh kaum pria? Selain itu, muncul juga Islam/Kristen Moderat/Liberal. Ada pula gerakan kesetaraan dan kebebasan berekspresi para kaum LGBT. Semuanya dimulai dengan pertanyaan, ‘Mengapa’.

Psikis mereka tidak lagi ingin didoktrin oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat mengekang kebebasannya. 

Orange adalah Individualis, berbeda dengan Red yang Egosentrik (walaupun fokusnya kembali ke individu). Di sini, kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh kekuatan fisik, namun lebih kepada hal yang bersifat lebih halus seperti kekuasaan dan uang. Siapa yang memiliki uang dapat memegang kekuasaan. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan pada masyarakat Orange sudah tidak lagi bersifat pemusnahan masal para rakyatnya, namun lebih pada kecurangan, manipulasi, dan eksploitasi oleh orang-orang berkerah putih.

Orange adalah Materialistik. 

Tingkat ini adalah musim semi bagi IPTEK. IPTEK dianggap dapat menjelaskan segala hal. Dunia yang tadinya sangat misterius dan tampak luas, sudah dapat ‘ditaklukkan’ oleh IPTEK. Di sini, hal-hal gaib Purple mulai dianggap sebagai lelucon, karena semuanya dianggap dapat dijelaskan secara rasional. Walaupun hukum-hukum kenegaraan dan keagamaan masih ada, namun cenderung sudah bergaya Orange. Orang yang tadinya didikte oleh hukum mulai dapat menggunakan hukum untuk kepentingannya. Pengadilan Negeri/Tinggi mulai banyak menerima laporan tuntutan/gugatan hukum.

Pada Orange, pembangunan besar-besaran, materialisme, dan teknologi menjadi suatu hal yang penting karena para materialistik, individualis dan rasionalis menginginkan efektifitas.
Karena masyarakat Orange sangat individualis, muncul pula gairah baru untuk mengubah dunia menjadi apapun asalkan menguntungkan bagi mereka. Polusi, pencemaran udara, pembuangan limbah, pembakaran hutan, dan bentuk pengrusakan lingkungan dimulai. Hal ini bukan karena jahat, benci atau karakteristik antagonis lain seperti pada cerita fiksi, namun lebih karena ekonomi dan self-interest.

Meritokrasi muncul di sini, suatu pemikiran yang menekankan pada merit (nilai-nilai intelegensi, kemampuan, pengalaman, dan kapasitas seseorang). Orang yang memiliki merit pantas untuk sukses dan memegang posisi penting. Pemikiran Napoleon Bonaparte (1800-an) ini adalah salah satu yang paling penting dalam peradaban manusia. Meritokrasi muncul untuk menggantikan Aristokrasi di Perancis. Sehingga yang pantas memimpin bukanlah para aristokrat, melainkan siapapun yang memiliki merit. Sayangnya, meritokrasi juga berarti bahwa orang yang gagal adalah orang yang ‘pantas’ untuk gagal, sehingga individualisme semakin kental, dan orang mulai bangga dengan apa yang ‘pantas’ mereka capai, dan tidak perduli dengan orang-orang yang ‘gagal’ tersebut.

Pada tingkat ini, IPTEK bukan lagi sebuah perspektif untuk menelaah suatu realitas, melainkan sudah menjadi sebuah realitas itu sendiri. 

Di Amerika Serikat, fenomena ini dapat dikaitkan dengan American Dream, sebuah pandangan hidup di mana setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk menaikkan status sosial keluarganya demi mencapai sukses asalkan mereka rela bekerja keras. Kesuksesan digambarkan dengan kebebasan finansial dan kepemilikan aset. Kebahagiaan disimbolkan dengan rumah, mobil, makanan, dan materi lainnya. Pola hidup konsumtif dan produktif inilah yang menggerakan roda-roda Kapitalisme.

Agama kerap digunakan oleh para kapitalis untuk mempertahankan status quo. Diantaranya Calvinisme, suatu denominasi Kristen yang dikembangkan oleh John Calvin. Calvin menggunakan ayat-ayat dalam Injil yang berhubungan dengan bekerja keras. Setelah itu, ia menanamkan nilai dalam Kristen pentingnya menabung dan berinvestasi. Ia juga menambahkan orang yang bekerja keras lebih mulia di mata Tuhan daripada para pastur. Oleh karena itu, para pekerja akan terus bekerja tanpa lelah dan takkan pernah mengeluh. Hal inilah yang membuat Komunisme (Karl Marx) dan filsafat lainnya (Nietzsche) menganggap agama adalah candu, sebagai alat yang membuat kaum proletar menjadi pasif, dan mencegah revolusi. Berbeda dengan Marx, Max Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” (aku baru membaca review dan analisis bukunya 😳) berpendapat bahwa Calvinism bukanlah alat untuk mempertahankan Kapitalisme, namun hal yang memulai Kapitalisme.

Sedangkan di Islam, saya menyoroti kata-kata “Syukur, Jangan mengeluh, Bekerja keras, Rezeki sudah ada yang mengatur, Hormatilah orang yang mempekerjakanmu”. Namun, mungkin saja kata-kata tersebut (dan kata-kata John Calvin) bertujuan baik, yaitu untuk menyemangati para masyarakat, khususnya para pekerja. Di sini, konteks sangatlah penting, dan kita tidak memiliki akses untuk memahami konteksnya secara menyeluruh. 

Tidak ada yang tahu pasti. 

6. GREEN
Tingkat Green dimulai dengan individu yang sadar bahwa uang, materi, dan teknologi yang canggih bukanlah sumber dari kebahagiaan. Selain itu, orang-orang mulai melihat dampak buruk dari pola hidup masyarakat Orange dan mereka melihat kerusakan alam dan penindasan terhadap kaum proletariat di mana-mana.

Tidak seperti Blue yang absolutis, Green bersifat relativistik. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu (nilai-nilai, kebenaran, kebaikan, kecantikan) hanya berlaku pada kelompok/budaya tertentu. Mereka menghargai perbedaan, memiliki empati yang sangat tinggi.

Mereka adalah orang yang mencintai dan peduli tidak hanya pada manusia lain, namun hewan dan kelestarian alam karena mereka ingin anak-cucu mereka dapat melihat keindahan alam dan keragaman hayatinya.

Orang-orang ini memiliki rasa empati yang sangat dalam. Kepada Orange, mereka berusaha melindungi hak-hak para buruh agar tidak dieksploitasi oleh kelas pengusaha dengan membentuk serikat pekerja. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang peduli dan mendukung orang yang memiliki permasalahan fisik dan mental (Support Group). Selain itu, mereka juga membentuk banyak organisasi yang peduli terhadap kelestarian hutan, hewan yang hampir punah, serta budaya-budaya Purple yang mereka anggap sebagai khazanah yang dapat melukiskan indahnya keberagaman.

Di tingkat ini, kontrol kembali beralih ke masyarakat dengan asas, ‘demi kepentingan umum’.

Organisasi-organisasi Green (biasanya NGO) sudah bermunculan di masyarakat modern. 

Pada era Green juga terdapat korporasi dan perusahaan, namun pandangan mereka tidak hanya kepada profit dan eksploitasi, melainkan juga bagi keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan sosial (mungkin karena ini kata-kata "Sustainable/Sustainability" mulai sering ditemukan di Visi/Misi perusahaan atau kegiatan CSR mereka).

Pada tataran individu, orang Green mungkin adalah orang-orang yang antikemapanan dan yang memiliki empati tinggi.

7. YELLOW
Yellow bersifat Sistemik. Mereka menjunjung tinggi fleksibilitas, otonomi, rasa ingin tahu. Mereka menerima paradoks dan ketidakpastian. Mereka tidak termotivasi oleh penghargaan dan hukuman. 

Orang-orang pada tingkat Beige sampai Green tidak menyadari bahwa mereka ada pada tingkat tersebut. Hanya pada tingkat Yellow lah orang mulai menyadari semua ini karena mereka telah melewati semua tingkatan evolusi psikis ini. Mereka memahami apa yang dipikirkan oleh orang Purple dan Red; mereka paham mengenai konflik yang terjadi antara masyarakat Blue dan Orange seperti konflik global yang terjadi saat ini. 

Yellow menyadari bahwa setiap tingkat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Mereka melihat sesuatu sebagai suatu sistem yang kompleks, sehingga mereka tidak akan gegabah dalam menentukan mana yang benar dan salah atau yang baik dan yang buruk.

Orang-orang bertransformasi ke Yellow ketika melihat bahwa Green terlalu idealis. Mereka berpikir bahwa kepedulian saja tidak akan mengubah dunia. Kita perlu memahami apa yang telah dan sedang terjadi dengan cara melihat segala sesuatu secara menyeluruh, melalui perspektif pihak-pihak yang berbeda.

Yellow tidak akan mudah tersinggung karena mereka memahami fluiditas emosi, dan mereka juga tidak terlalu arogan sebagaimana orang-orang Orange karena mereka tahu bahwa ada tingkatan lagi di atas mereka.

Yellow bersifat individualistis, sehingga mereka terlalu sering berada dalam kepala mereka sendiri. Mereka terlalu sibuk membangun sebuah model dan memahami berbagai cara untuk memahami realitas. Oleh karena itu, mereka terus berefleksi agar dapat bertransformasi ke tingkat selanjutnya.

Walaupun ada beberapa persen (>5%) individu yang mulai bertransformasi ke tingkat ini (Barrack Obama pernah disebut masuk ke dalam tahap ini), belum ada masyarakat yang sampai pada tingkat ini.

8. TURQUOISE 
Turquoise bersifat Holistis. Ini adalah tingkat tertinggi dalam evolusi psikis manusia. Karena sangat sedikit atau bahkan belum ada individu dan masyarakat yang berada pada tingkat ini, Graves tidak memberi banyak catatan mengenai Turquoise.

Menurutku, para nabi merupakan beberapa individu yang telah mencapai tingkat ini. Ada sumber lain yang menyatakan bahwa Gandhi adalah seorang Turquoise.

***

Perlu dicatat bahwa:
1. Setiap individu atau masyarakat tidak berada hanya pada satu tingkat, melainkan berada pada beberapa tingkat berbeda, contohnya, Donald Trump: (secara kasar, dan agak asal-asalan) sebagian besar Blue (Meyakini supremasi ras dan agama tertentu) dan Orange (Kapitalis dan pebismis yang orientasinya pada profit), namun ada juga sebagian kecil Red (Impulsif) dan Green (aku tidak terlalu yakin dengan Green). 

2. Setiap tingkat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Yang membedakan hanyalah kompleksitas. Tidak berarti yang satu lebih baik/pintar/superior daripada yang lain. Namun, individu pada tingkat yang lebih tinggi memiliki lebih banyak kerangka berpikir untuk dipilih dalam memandang suatu permasalahan.

3. Warna pada model ini dibedakan menjadi 2: warna hangat; Red, Orange dan Yellow (“ekspresi diri”) dan warna dingin; Purple, Blue, dan Green (“pengorbanan diri”). Dengan kata lain, perbedaan fokus adalah antara ‘Aku’ dan ‘Kita’.

4. Transformasi dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya berlangsung apabila seseorang telah menerima dan memahami konsep, serta kelebihan dan kekurangan tingkatnya berada. Bertransformasi tidak berarti meninggalkan tingkat sebelumnya, namun merekonsiliasi dan mengintegrasikannya.

5. Transformasi harus melalui setiap tingkat, tidak dapat meloncati tingkat tertentu.

6. Ketika kita mencoba menunjuk di mana tingkat kita, kecenderungannya adalah kita menunjuk 2 tingkat di atas tingkat kita sebenarnya (Jika menunjuk Yellow, kemungkinan kita Orange).

***

Menurutku, apa yang sedang terjadi di Indonesia adalah adalah pembagian kubu antar Blue dan antara Blue dengan Orange.

Antar kubu Blue, yang terjadi adalah perang antara orang atau kelompok orang yang yakin bahwa model/kerangka berpikirnya adalah yang bersifat absolut, objektif, universal, dan paling benar.

Sedangkan antar Blue dan Orange, menurutku yang sedang terjadi di banyak negara, selain di Indonesia. Blue menganggap bahwa Orange keblinger, hedonis, liberal, dan hanya mencari (kesenangan) dunia, dan merupakan ancaman yang akan menggerus kearifan lokal, sistem, dan generasi Blue selanjutnya. Orange menganggap Blue antiperubahan, kolot, dogmatis, dan tidak rasional.

Yang kulihat sekarang, perang tersebut sudah menjadi perang ego. Orang-orang membaca/mendengar hanya untuk merespon dan menyerang balik, bukannya untuk belajar dan memahami.

Padahal, menurutku banyak kelebihan masing-masing kubu yang dapat direkonsiliasi untuk menutupi kelemahan-kelemahannya. Aku ingat kata-kata dari Paulo Coelho, “bahkan jam rusak pun benar dua kali dalam satu hari”.

Kuharap, konflik dan perpecahan di negara ini segera berakhir.

______________________________________________________
____________________________
______________________________________________________



The Train

I blinked and then—bam!—another year has just passed. I do not understand anything about Einstein’s theory of relativity. All I know is that the time seems to move relatively fast around me. Everything happens in a rate that I cannot comprehend. Time has been a train to me, and I have been tied to it, moving in a full speed. I tried to keep running but I cannot cope with the speed. My feet hurt.

At times, I looked around. I saw a very beautiful landscape and locked my eyes on it, trying to look at it as long as I could, but—puff!—it’s gone. Sometimes, I stumbled and fell, dragged along the sharp rocks on the railway. Somehow, I managed to stand and run again—for now. Perhaps, that is how it is and how it should be. It comes and it goes. It happens. It changes and reshapes me. One day, I would look into the mirror and mumble, ‘who is this man?’.

I want to stop the train. It is not that I am tired, stressed out or depressed. I just think that I don’t belong. There are better runners who do not have a chance to get a train.

People say that the train will eventually stop. There is last station where I can get off the train and stay there. Others say that there is nowhere to stop. Both the train and I will just disappear. Either way, for better or worse, there is something in me which longs for it. 

The boy who turns

Today, I wake up very early in the morning. I cannot find my way back to sleep. I do not find my phone and everything in it interesting. So, I cannot help but sitting and contemplating, as usual. I hate to point it out and say to myself that I am 24 now. Maybe, it is just a mechanism created by my mind to deny the fact that I am getting older and I am no longer a boy; that I have to take everything more seriously; and that I am now belong to the society more than to me.

I am not finished with myself as a boy. I like being a boy capable of expressing my self. I’d like to live my life in the ‘now’ without yesterday’s regrets and tomorrow’s expectations. I am still enjoying my journey of finding myself. I have not found my passion yet, not to mention my truest self.

They ask me to take everything more seriously. Well, I can’t! I cannot put all my heart into anything I have no idea about. I am still detaching myself from my belief, both familial and cultural. I want to inspect and select everything for myself. I want to live my life as me, not as my parents’ shadow or as the mainstream society. I want to have and realize my own dream, not their unfulfilled dreams.

Now, society will start prying my eyes to look through the lens of their ‘reality’ and to pursue their version of success. They expect me to be a good worker, spend my wage, and not die. They want me to be a good functioning person, which is defined as a person who don’t question and just accept everything; a person who is smart enough to think—and work—but not too smart to realize; and a person who is like other millions of people whose sense of identity, happiness, and pride depend on how famous, beautiful (or handsome), or rich they are. 

Speaking of pride—it may sound like a conspiracy theory, though—I think, it is just an empty words designed to control the majority. There is no reason to be proud of just being Indonesian/American/Man/Woman/Muslim/Christian because pride is something we earn or we get after trying hard. It is an achievement, not just something we have when we are born or simply convert into. That word is used to invoke blind determination/struggle on the outcome desired by some.

One more thing, to be a good functioning person, I have to marry and have children. This may sound ridiculous, but I think this overpopulated world has enough ‘unattended’ and ‘unmanaged’ hungry children. Why would I be so egotistical to spread my mediocre gene to the world? Is there no other meaning which can make my life meaningful other than this?

Perhaps, I am just too scared and irresponsible to handle children because I know that every baby look upon their parents as perfect beings. And I know that neither do I, nor everybody else is perfect. So, there will always be gap, an unmet expectation: childhood trauma, either emotional, psychological, or physical. This childhood trauma will influence the children forever, as me and everyone else. It is like a burden we are doomed to carry around. We can’t function maximally until we accept it, unbind it, and be at peace. How to deal with this depends on each person. Regardless, I am not ready to create and deal, or let my children deal with the burden.

I am a boy who enjoys walking and taking paths unaware of the consequences in the long run. I simply walked on the path that I liked. Now, however, I am facing a big diverted roads, and I have to decide which road to take. I know that at the end, every small path will lead to bigger roads. Every individual will be a society. Every colorful soul will be monochromatic swirling energy. It is not so grim, though. For the better or worse, each individual sound will turn into universal symphony.

__________________________________
___________________
__________________________________

Tentang Kematian


Kematian

Secara umum, kematian merupakan momok yang ditakuti oleh semua orang. Namun, sampai tingkat tertentu, kita tidak percaya bahwa kita akan mati. Bila iya, kita akan ketakutan setiap hari. 

Mungkin ini memang suatu upaya yang dilakukan oleh sel-sel dalam tubuh kita agar kita dapat berfungsi secara normal. Atau mungkin, sel-sel kita memang takkan pernah mati, hanya berubah.

Kita Semua Mati Sendirian

Menurut Prof. Shelly Kagan dalam sebuah kuliah terbuka tentang filsafat di Universitas Yale, kematian itu menakutkan karena kita mati sendirian, dalam sepi. 

Sepanjang hidup kita, kita telah hidup berdampingan dengan orang lain. Pasti sangat menakutkan bila akhirnya kita mati sendirian.

Walaupun kebanyakan orang mati dihadapan kerabat/keluarganya, tetap saja kita sendiri yang mati.

Walaupun kita mati di arena perang bersamaan dengan orang lain, tetap saja proses kematian itu akan kita hadapi masing-masing karena kematian tak dapat diberikan pada orang lain.

Walaupun pada abad pertengahan, tempat seseorang di guillotine dapat digantikan oleh orang lain, tetap saja, takkan ada yang bisa mengambil kematian kita karena setiap orang memiliki kematiannya sendiri.

Jika seseorang menempati tempat kita saat makan siang, dia menyantap makan siangnya untuknya, bukan makan siang kita untuk kita.

Kita akan mati sendirian.

Katanya, ketika kita mati, kita akan merasakan kesendirian, keterkucilan, dan ‘terpisah’ dari orang di sekitar kita. Namun, tidak semua orang akan merasakan hal seperti ini, contohnya adalah orang yang meninggal ketika sedang tidur atau yang malah mengundang orang-orang terdekatnya untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Kita Mengharapkan Eksistensi Jiwa

Sebegitu takutnya kita akan kematian sehingga kita sangat berharap bahwa kita bukan hanya raga yang memiliki fungsi-fungsi hebat, namun kita juga punya jiwa. Kita berharap bahwa setelah kematian, jiwa kita akan menuju kehidupan yang abadi.

Jika tidak ada kehidupan yang abadi untuk jiwa kita, berarti kematian adalah akhir dari semua. Berarti kehidupan hanyalah serangkaian hal-hal tak bermakna.

Sangat depresif!

Kematian Tidaklah Buruk Bagi Yang Meninggal, tapi Buruk Bagi Yang Ditinggalkan

Pada situasi tertentu, mungkin kita pernah berpikir bahwa tidak apa-apa jika kita harus mati, yang kita takutkan adalah apa yang akan dilakukan keluarga/kerabat kita jika kita mati.

Ada dua skenario:
  1. Saudara kita akan pergi untuk melakukan eksplorasi galaksi. Mungkin kita takkan pernah bisa bertemu/berkomunikasi lagi.
  2. Saudara kita akan pergi untuk melakukan eksplorasi galaksi. Roketnya meledak sesaat setelah diluncurkan.

Tentu saja skenario kedua lebih menyedihkan. Kesimpulannya, bukanlah perpisahan yang menyedihkan, melainkan perasaan orang yang ditinggalkan ketika mereka meratapi orang yang meninggal.

Kematian Merenggut Keindahan Hidup

Kematian itu buruk karena dia merampok sebuah keindahan hidup yang mungkin akan kita alami.

Kapanpun kita mati, kita akan memandangnya sebagai sesuatu yang buruk. Jika kita mati pada usia 20, kita mati terlalu muda. Jika kita mati pada usia 50, kita berharap punya waktu 10 tahun lagi. Jika kita mati di usia 90 tahun, tetap saja, kita akan merasa kurang.

Oleh karena itu, keabadianlah jalan satu-satunya.

Kita Tidak Benar-Benar Ingin Hidup Abadi

Jika kita diberi kebebasan untuk memilih jatah usia, mungkin kita akan memilih ‘tak terbatas’, tapi sebenarnya keabadian tidaklah seindah yang kita bayangkan. Bayangkan saja kita semakin tua, semakin ringkih, dan semakin pikun; organ-organ di tubuh kita tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya; daya indera kita semakin berkurang, namun kita tak akan pernah mati. 

Menyeramkan, bukan?

Pada saat itulah, mungkin, kematian hadir sebagai anugerah yang membebaskan kita dari jeratan penderitaan abadi seperti itu.

Sejatinya, kita ingin hidup abadi tanpa mengalami penuaan. Bagai para vampire dalam Twilight Series. Mungkin, karena itulah konsep ‘surga’ menjadi secercah cahaya di ujung jalan. Cahaya yang dapat menerangi semua angan-angan dan pertanyaan terbesar umat manusia.

Namun, tetap saja tidak ada kehidupan abadi yang akan selamanya bahagia. Akan ada saatnya kita mencari suatu akhir di kehidupan yang tanpa akhir itu, bahkan di surga, mungkin. 

Aku pernah berpikir bila aku berada di surga, bernyanyi selamanya, tidur bersama 72 bidadari selamanya, duduk-duduk sambil membaca di taman Firdaus selamanya, makan makanan dan minum minuman favoritku selamanya, memainkan game favoritku selamanya, berjalan-jalan di hamparan taman bunga selamanya, mendengar deburan ombak dan retihan api unggun selamanya, tidur-tiduran di bawah bintang-bintang selamanya… selamanya. 

Selamanya! 

Menurutku, setelah 100 atau 1000 tahun, aku akan mulai bosan, dan berharap agar aku lenyap, seperti sebelum aku dilahirkan.

***

Walaupun aku tidak ingin orang-orang terdekatku mati, bagiku, kematian jika dilihat dari perspektif tertentu, tampak indah. Bagiku, kematian adalah sebuah sensasi yang menggairahkan. 

Bayangkan, kita bisa mati kapanpun dan di manapun!

Kematian itu menggairahkan! Mungkin itulah mengapa orang rela lompat dari pesawat hanya dengan beberpa helai kain, memacu kendaraannya untuk kesenangan, dan melakukan hal-hal lain yang menyimpan risiko kematian tinggi.

Dalam ilmu ekonomi, kita tahu bahwa nilai suatu komoditas akan melonjak apabila komoditas itu langka, singkat atau mudah rusak. Sama halnya dengan kehidupan. Hal-hal itulah yang membuat kehidupan menjadi sesuatu yang berharga.

Aku bersyukur atas apa yang sudah, sedang, dan akan aku alami. Kapanpun akhirku, aku akan merasa cukup.


______________________________
________________

______________________________




gmt time to est

Pengikut