On Self-Image: What Kind of Person am I?
I almost always screw up during interviews, even in the first two questions. I screw up in “tell me about yourself” and “what kind of person are you?”
It is not that I don’t know myself. I have been trying to psychoanalyse myself in the last three years. However, the more I figure out, the more I find out the stranger in me.
I once read a concept called ‘self-image’. Basically, it is the way I see myself. It can be personality, occupation, dream, looks, etc.
Psychologist often differentiate person as having positive and negative self-image. Those with positive self-image perceive themselves as good, unique, smart, cool, beautiful, handsome, popular, open-minded, noble, modest, or/and other positive attributes anyone may think of.
Meanwhile, those with negative self-image oftentimes see themselves as insufficient, shy, small, ugly, boring, unworthy, stupid, short, lazy, evil, broke, sensitive, fat, weird or/and other negative attributes.
The problem is that either need validation or acknowledgement from others. The positive self-image people need it to ensure that they are still what they think. For example, a ‘popular’ person will re-think about his/her popularity when his/her tweet only gets 3 retweets.
If a ‘popular’ person lost his/her popularity, what is he/she, then?
Similarly, those with negative self-image also requires other people’s opinion and comment to help them improve. A person who was labelled ‘insufficient’ by his/her parents/lover will try so hard to do anything perfectly and in order. It is to please that person or merely to make him/her feel better about him/herself.
What about me?
I have been trying to kill my self-image.
I see self-image as a house. When I was born, I didn’t have it. Then, I started piling up bricks and building some walls to protect me from the rest of the universe. There are many rooms in my house. I name it confident, smart, introvert, open-minded and weird. There are actually many more rooms in the dungeon; but it is too dark to even identify what is what. I painted and renovated my house several times. People always have something so say about it. Sometimes they said it is too big, too small, too light, too dark.
I am destroying my house from the inside out.
My self-image is as imaginary as the house. They both are built upon thoughts and stories that I—or others—have been trying to liven up and materialise in my head.
So, what kind of person am I?
I am both smart and stupid. I am aware and ignorant. I am a hard worker and lazy person. I am both handsome and ugly. My life is both useful and useless. I am sympathetic and apathetic. I am worthy and worthless. I have experienced life and death.
I am everything and everything is me.
Before me, the energy—that forms me—floated around in the universe. After me, the energy will float again.
Am I the vessel or the energy?
___________________________________
___________________
___________________________________
Last year, I posted something on this topic, but it is more of a rant (https://nantahananta.blogspot.co.id/2016/02/our-little-secrets.html).
Labels: Descriptive , Expository
A Blast of October
I have striven to live my life with even a tiny bit of awareness. I know I have been sleepwalking the whole time, but I tried to wake up in between seconds. I must have missed most of what happened this month. Anyway, with the limit of my perception and clouds in my awareness, I sort of like this month.
Physically, I am still standing in my starting point when I firstly came to this city. Financially, I am still a broke with no clear future. Particularly, this month has nothing to ponder about but some ups and downs—mostly downs, though.
I don’t know what kind of person I am. I feel a certain kind of longing for melancholy and sufferings. I remember moments happened in this month when I was drenched for an hour, when I was worn out, when I could not sleep for the noises in my head, when I was overwhelmed by guilt, when I got into an accident, when I was physically in pain and when I was broken. The depressive energy somehow puts things into perspective.
I am somewhat happy.
It feels like I have traveled a long journey full of shards and blaze. Overall, I am grateful for that. Each obstacle that I passed has grows me. I have become stronger and wiser.
I am looking forward to meeting more obstacles. Big-challenging-frustrating-overwhelming-deadly obstacles. I am waiting for them with open arms.
I will remember each moment happened in this month. If my life were a book, these moments would be in a separate chapter that constitute a plot to my story.
________________________________________________
___________________________________
________________________________________________
This month has not even ended yet, but I close it with a smile.
Labels: Recount
The Nineteenth Day of September
This day, he manages to wake up. He looks up the
window. It is very dark. He likes that morning. In fact, He likes all mornings.
It is silent… serene. He is so refreshed even though he does not sleep much this
day.
His eyes fly to the wall where he put a mark every day.
He looks away immediately.
Only he knows that he does not believe in that day.
“Why do we have to celebrate our lives in the 365th day? The 100th
day will be catchy, though”, he mumbles.
Anyway, the force is too strong. It is hard for him
not to follow the others on this. His memory resurfaces. He remembers that he
has set his biological time at 50. It may be faster, but it is okay for him.
Anytime is the same.
This day marks the half of his time.
He gets up and sits by the side of his bed. Thinking.
Random memories have just shot him in the head. He remembers moment by moment
of his life as if a short film that recurs in a loop. His life seems to have
just begun. It is only a blink of eyes. He is born, he goes to school, he
graduates and there he is. He wants to drink more water of life.
At the same time, he is so weary. He feels that he has
been living for centuries. He experiences everything. Sadness, pain, disappointment,
betrayal, happiness, love and emptiness. He has reached a point on a highest
mountain, unable to look up or down due to the fog. He is too tired to continue
climbing or get back down. He is not desperate. He
is satisfied.
He wants to stop, lay down and sleep again. Alone. Forever.
________________________
__________
________________________
Mengapa Kerangka Berpikir Kita Berbeda
Sejak lulus kuliah pada Juli 2015, sampai mendapatkan pekerjaan tetap (pekerjaan 8 jam) pada Mei 2016, aku punya banyak sekali waktu luang. Sekitar 6 bulan pertama, aku hanya bekerja di akhir pekan (sebagai pramuwisata) atau menjadi pekerja lepas sebagai penerjemah dan panitia (LO) di beberapa kegiatan. Pada saat itulah aku mulai tertarik untuk membaca hal-hal di luar bidang studiku. Aku mulai membaca buku dan artikel terkait psikologi, filsafat, sejarah, politik, dan kajian humaniora lainnya.
Aku ingin memahami sesuatu dari berbagai sudut pandang sebelum menentukan sikap. Seperti seorang pecandu, aku mendapatkan kepuasan tersendiri ketika mendapatkan suatu pola setelah menganalisis sesuatu.
Awal 2016 aku tidak sengaja menemukan suatu artikel menarik mengenai Model Bio-Psiko-Sosial Clare W. Graves (dikenal juga sebagai Spiral Dynamics). Hal yang menarik adalah modelnya dapat menjelaskan kompleksitas evolusi yang telah, sedang, dan akan terjadi dalam tataran individu dan masyarakat. Menurutku, model ini menawarkan suatu pola yang cukup efektif dalam melihat hampir semua fenomena yang terjadi.
Menurut Graves, dinamika yang terjadi dalam diri seorang manusia dan masyarakat bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontan, namun, lebih seperti transisi gradual yang terarah. Transisi ini, menurutnya, dapat dibagi menjadi 8 tingkat evolusi. Tingkatan evolusi ini terjadi di psikis individu dan masyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu, oleh karena itu, tingkat psikis sebuah masyarakat merupakan gabungan dari psikis para individunya.
Berikut adalah ringkasan dari tiap tingkat-tingkatnya.
1. BEIGE
Ini adalah tingat paling dasar dari psikis seorang individu. Pada tingkatan ini, yang dipikirkan hanyalah bertahan hidup dan mencari makanan. Individu dalam tingkat ini adalah para generasi awal yang menempati posisi terendah dalam teori Darwin.
Beige bersifat Instingtif.
Di era modern, individu yang ada pada tingkat ini adalah para bayi yang belum dapat beinteraksi dengan orang di sekitarnya atau orang-orang yang berada di hierarki terbawah dalam piramida Abraham Maslow. Dalam Hierarchy of Need-nya Maslow, kebutuhan paling manusia dasar haruslah terpenuhi sebelum ia dapat naik ke hierarki yang lebih tinggi. Contohnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, kemungkinan tidak akan mampu untuk bersosialisasi dan berkesenian.
Pada tingkatan ini, masyarakat belum terbentuk.
2. PURPLE
Individu-individu Beige mulai berkumpul membentuk suatu kelompok Purple karena mereka menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan bertahan hidup lebih besar jika bekerja sama.
Purple menjunjung tinggi tradisi, penghormatan atas arwah leluhur dan para tetua, ikatan keluarga, berbagi, ritual, kerja sama.
Purple bersifat Animistik.
Kelompok Purple belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, mereka memandang dunia sebagai suatu hal yang misterius. Di sinilah muncul kepercayaan Animisme. klenik, perdukunan, dsb.
Di era modern, kelompok Purple adalah suku-suku pedalaman. Selain itu, banyak pula orang yang masih mengadopsi psikis Purple, diantaranya orang-orang yang masih mempercayai pengobatan dengan darah ayam, sate gagak, dan masih banyak lagi. Selain itu, nilai-nilai Purple mengenai penghormatan pada leluhur dan tetua masih sangat kental di Indonesia dan beberapa negara di Timur.
Pada Purple, tidak ada sifat individualistik karena identitas seseorang merupakan identitas sukunya. Di tataran individu, Purple belum memiliki kepribadian/identitas karena masih sangat tergatung pada orang di sekitarnya. Hal tentang personhood ini kerap didiskusikan dalam filsafat moral.
3. RED
Pada Red, beberapa orang Purple mulai berpikir, “Aku orang yang paling kuat di suku ini. Kenapa aku setara dengan mereka?”
Hukum rimba berlaku di Red. Beberapa orang mulai memisahkan diri dari sukunya. Dengan kekuatan fisik, mereka mengambil apapun yang mereka inginkan, rumah, ladang, dan para wanita (karena sangat terkait dengan kekuatan fisik, pada awalnya, Red didominasi oleh para pria).
Red bersifat Egosentrik.
Era Red tidak hanya terjadi dalam konteks kesukuan. Tingkat ini juga mencakup munculnya raja-raja, diktator, dan ketua-ketua gangster. Orang Red tidak peduli dengan yang lain. Jika mereka mengingikan sesuatu, mereka akan mengambilnya dengan cara apapun, seperti merampas, merampok, mencuri, atau membunuh orang yang memiliki benda yang mereka inginkan.
Jika ada yang menentang kekuasaannya, dia tidak segan-segan untuk melenyapkannya. Pada tingkat ini, kekuasaan ditentukan oleh kekuatan fisik, senjata, dan anggota.
Nilai-Nilai Red diantaranya kehormatan, kontrol, dominasi, kesenangan.
Di era modern, Red adalah para pemberontak, gangster, perompak, sindikat, atau kelompok lain yang menggunakan kekerasan fisik untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Selain yang menjurus ke arah kriminal, individu Red juga mencakup anak kecil yang secara alami sangat teridentifikasi dengan dirinya sendiri. Kita semua mengalami tingkatan ini, di mana kita belum memiliki kapasitas untuk berempati.
Menurutku, pada beberapa hal, pemerintahan Suharto terindikasi Red (berpadu dengan Blue), orang yang memiliki ideologi berbeda dengannya akan lenyap dengan segera baik itu kaum intelektual ataupun masyarakat biasa. Pada beberapa literatur, salah satunya karya Seno Ajidarma (aku lupa judulnya 😳) aku pernah membaca bahwa pemerintah mempekerjakan banyak penembak misterius. Pada literatur tersebut, digambarkan suatu keadaan mencekam di mana banyak peluru yang menyasar dan banyak mayat-mayat (kebanyakan preman) bertebaran.
4. BLUE
Masyarakat pada era Red mulai menyadari bahwa mereka harus melakukan sesuatu karena mereka tidak ingin terus-menerus hidup dalam ketakutan dan tekanan. Di tingkat Blue inilah mulai terjadi pemberontakan dan revolusi. Seperti demo besar-besaran untuk menjatuhkan rezim Suharto tahun 1998 atau Revolusi Perancis yang meruntuhkan sistem kerajaan Perancis pada abad ke-18 silam.
Pada Blue, kekuasaan pun kembali jatuh ke tangan masyarakat. Pada tingkat ini, peradaban mulai dimulai.
Tidak seperti pada Red, di sini hukum-hukum absolut mulai muncul. Pemikir-pemikir filsafat politik seperti John Locke, Rousseau dan nama-nama lain (yang ada di buku PKN 😀) bermunculan di sini. Prinsip-prinsip hukum mulai diformulasikan dan ditegakkan.
Selain hukum kenegaraan, hukum agamapun mulai ditegakkan (secara formal) di sini. Agama-agama besar memiliki lembaga dan berkembang menjadi suatu pedoman hidup yang lebih mengikat. Hal ini terjadi di Blue karena agama, seperti negara, membutuhkan birokrasi dan suatu peraturan yang mengikat.
Blue dikenal sebagai Absolutis.
Individu dan masyarakat Blue meyakini bahwa hukum, agama, dan pedoman hidup yang mereka pegang bersifat absolut, universal, dan yang paling benar. Blue berpemikiran dualisme, yang melihat segala sesuatu dalam skala hitam-putih. Hanya ada satu ajaran agama yang benar; hanya ada satu ideologi yang benar; hanya ada satu sistem politik dan ekonomi yang benar, yang merupakan default.
Kontrol sosial dalam masyarakat Blue kembali pada kelompok. Individu-individu tidak dapat banyak mengutarakan pendapat maupun kritiknya.
Dalam tataran kenegaraan, menurutku, contoh masyarakat Blue adalah Imperialisme Eropa. Mereka masuk ke masyarakat Purple di pedalaman Afrika, Amerika Latin, Asia, dan tempat lainnya untuk mengajari bahasa, paham-paham, dan agama mereka. Selain itu, ada juga fenomena Arab Spring yang terjadi di beberapa wilayah Red dan Blue di Asia Barat (Timur Tengah) dan Afrika Utara, di mana terjadi pemasukkan sistem demokrasi untuk menggantikan sistem terdahulu.
Selain Imperialisme, dalam tataran ideologi dan kepercayaan, muncul pula para fundamentalis dan teroris yang memiliki satu pemikiran absolut yang paling benar menurut pandangan mereka. Mereka akan berusaha memertahankan status quo yang mereka anggap sudah baik bagi mereka, atau mengubah sebuah status quo tersebut apabila keadaannya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan.
Dalam konteks kepercayaan, menurutku, banyak individu/masyarakat dengan berbagai keyakinan (animisme, politeisme, monoteisme, dan keyakinan lainnya) yang memiliki catatan hitamnya tersendiri yang berkenaan dengan pemaksaan pemikiran/keyakinan mereka.
Di kalangan individu, kebanyakan pada remaja Blue, ada cara/gaya hidup default di mana remaja yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan orang kebanyakan, akan mendapat hinaan dan dianggap aneh. Menurutku, di sinilah sebenarnya akar permasalahan dari bullying. Anak yang paling sering di-bully adalah mereka yang gagal untuk mengikuti tren, cara berbicara, cara berjalan, gaya hidup, orientasi seksual, ataupun yang secara fisik ‘berbeda’ dengan apa yang ‘ditentukan’ sebagai default oleh mayoritas.
5. ORANGE
Beberapa masyarakat Blue mulai berpikir bahwa negara, masyarakat, dan agama terlalu mengikat kebebasan mereka. Ego mereka mulai mencoba untuk keluar dari absolutisme masyarakat Blue. Pada saat itu, mereka mulai berubah menjadi Orange.
Orang-orang Orange mempertanyakan nilai dan norma, atau status quo yang ada dalam masyarakat, negara, dan agama. Di sinilah awal mula munculnya gerakan-gerakan pembebasan terstruktur seperti feminisme yang menuntut penyetaraan gender. Dengan mulai bertanya, “Mengapa nilai dan norma di masyarakat cenderung bias pada gender tertentu? Mengapa para CEO didominasi oleh kaum pria? Selain itu, muncul juga Islam/Kristen Moderat/Liberal. Ada pula gerakan kesetaraan dan kebebasan berekspresi para kaum LGBT. Semuanya dimulai dengan pertanyaan, ‘Mengapa’.
Psikis mereka tidak lagi ingin didoktrin oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat mengekang kebebasannya.
Orange adalah Individualis, berbeda dengan Red yang Egosentrik (walaupun fokusnya kembali ke individu). Di sini, kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh kekuatan fisik, namun lebih kepada hal yang bersifat lebih halus seperti kekuasaan dan uang. Siapa yang memiliki uang dapat memegang kekuasaan. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan pada masyarakat Orange sudah tidak lagi bersifat pemusnahan masal para rakyatnya, namun lebih pada kecurangan, manipulasi, dan eksploitasi oleh orang-orang berkerah putih.
Orange adalah Materialistik.
Tingkat ini adalah musim semi bagi IPTEK. IPTEK dianggap dapat menjelaskan segala hal. Dunia yang tadinya sangat misterius dan tampak luas, sudah dapat ‘ditaklukkan’ oleh IPTEK. Di sini, hal-hal gaib Purple mulai dianggap sebagai lelucon, karena semuanya dianggap dapat dijelaskan secara rasional. Walaupun hukum-hukum kenegaraan dan keagamaan masih ada, namun cenderung sudah bergaya Orange. Orang yang tadinya didikte oleh hukum mulai dapat menggunakan hukum untuk kepentingannya. Pengadilan Negeri/Tinggi mulai banyak menerima laporan tuntutan/gugatan hukum.
Pada Orange, pembangunan besar-besaran, materialisme, dan teknologi menjadi suatu hal yang penting karena para materialistik, individualis dan rasionalis menginginkan efektifitas.
Karena masyarakat Orange sangat individualis, muncul pula gairah baru untuk mengubah dunia menjadi apapun asalkan menguntungkan bagi mereka. Polusi, pencemaran udara, pembuangan limbah, pembakaran hutan, dan bentuk pengrusakan lingkungan dimulai. Hal ini bukan karena jahat, benci atau karakteristik antagonis lain seperti pada cerita fiksi, namun lebih karena ekonomi dan self-interest.
Meritokrasi muncul di sini, suatu pemikiran yang menekankan pada merit (nilai-nilai intelegensi, kemampuan, pengalaman, dan kapasitas seseorang). Orang yang memiliki merit pantas untuk sukses dan memegang posisi penting. Pemikiran Napoleon Bonaparte (1800-an) ini adalah salah satu yang paling penting dalam peradaban manusia. Meritokrasi muncul untuk menggantikan Aristokrasi di Perancis. Sehingga yang pantas memimpin bukanlah para aristokrat, melainkan siapapun yang memiliki merit. Sayangnya, meritokrasi juga berarti bahwa orang yang gagal adalah orang yang ‘pantas’ untuk gagal, sehingga individualisme semakin kental, dan orang mulai bangga dengan apa yang ‘pantas’ mereka capai, dan tidak perduli dengan orang-orang yang ‘gagal’ tersebut.
Pada tingkat ini, IPTEK bukan lagi sebuah perspektif untuk menelaah suatu realitas, melainkan sudah menjadi sebuah realitas itu sendiri.
Di Amerika Serikat, fenomena ini dapat dikaitkan dengan American Dream, sebuah pandangan hidup di mana setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk menaikkan status sosial keluarganya demi mencapai sukses asalkan mereka rela bekerja keras. Kesuksesan digambarkan dengan kebebasan finansial dan kepemilikan aset. Kebahagiaan disimbolkan dengan rumah, mobil, makanan, dan materi lainnya. Pola hidup konsumtif dan produktif inilah yang menggerakan roda-roda Kapitalisme.
Agama kerap digunakan oleh para kapitalis untuk mempertahankan status quo. Diantaranya Calvinisme, suatu denominasi Kristen yang dikembangkan oleh John Calvin. Calvin menggunakan ayat-ayat dalam Injil yang berhubungan dengan bekerja keras. Setelah itu, ia menanamkan nilai dalam Kristen pentingnya menabung dan berinvestasi. Ia juga menambahkan orang yang bekerja keras lebih mulia di mata Tuhan daripada para pastur. Oleh karena itu, para pekerja akan terus bekerja tanpa lelah dan takkan pernah mengeluh. Hal inilah yang membuat Komunisme (Karl Marx) dan filsafat lainnya (Nietzsche) menganggap agama adalah candu, sebagai alat yang membuat kaum proletar menjadi pasif, dan mencegah revolusi. Berbeda dengan Marx, Max Weber dalam “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” (aku baru membaca review dan analisis bukunya 😳) berpendapat bahwa Calvinism bukanlah alat untuk mempertahankan Kapitalisme, namun hal yang memulai Kapitalisme.
Sedangkan di Islam, saya menyoroti kata-kata “Syukur, Jangan mengeluh, Bekerja keras, Rezeki sudah ada yang mengatur, Hormatilah orang yang mempekerjakanmu”. Namun, mungkin saja kata-kata tersebut (dan kata-kata John Calvin) bertujuan baik, yaitu untuk menyemangati para masyarakat, khususnya para pekerja. Di sini, konteks sangatlah penting, dan kita tidak memiliki akses untuk memahami konteksnya secara menyeluruh.
Tidak ada yang tahu pasti.
6. GREEN
Tingkat Green dimulai dengan individu yang sadar bahwa uang, materi, dan teknologi yang canggih bukanlah sumber dari kebahagiaan. Selain itu, orang-orang mulai melihat dampak buruk dari pola hidup masyarakat Orange dan mereka melihat kerusakan alam dan penindasan terhadap kaum proletariat di mana-mana.
Tidak seperti Blue yang absolutis, Green bersifat relativistik. Mereka berpikir bahwa segala sesuatu (nilai-nilai, kebenaran, kebaikan, kecantikan) hanya berlaku pada kelompok/budaya tertentu. Mereka menghargai perbedaan, memiliki empati yang sangat tinggi.
Mereka adalah orang yang mencintai dan peduli tidak hanya pada manusia lain, namun hewan dan kelestarian alam karena mereka ingin anak-cucu mereka dapat melihat keindahan alam dan keragaman hayatinya.
Orang-orang ini memiliki rasa empati yang sangat dalam. Kepada Orange, mereka berusaha melindungi hak-hak para buruh agar tidak dieksploitasi oleh kelas pengusaha dengan membentuk serikat pekerja. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang peduli dan mendukung orang yang memiliki permasalahan fisik dan mental (Support Group). Selain itu, mereka juga membentuk banyak organisasi yang peduli terhadap kelestarian hutan, hewan yang hampir punah, serta budaya-budaya Purple yang mereka anggap sebagai khazanah yang dapat melukiskan indahnya keberagaman.
Di tingkat ini, kontrol kembali beralih ke masyarakat dengan asas, ‘demi kepentingan umum’.
Organisasi-organisasi Green (biasanya NGO) sudah bermunculan di masyarakat modern.
Pada era Green juga terdapat korporasi dan perusahaan, namun pandangan mereka tidak hanya kepada profit dan eksploitasi, melainkan juga bagi keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan sosial (mungkin karena ini kata-kata "Sustainable/Sustainability" mulai sering ditemukan di Visi/Misi perusahaan atau kegiatan CSR mereka).
Pada tataran individu, orang Green mungkin adalah orang-orang yang antikemapanan dan yang memiliki empati tinggi.
7. YELLOW
Yellow bersifat Sistemik. Mereka menjunjung tinggi fleksibilitas, otonomi, rasa ingin tahu. Mereka menerima paradoks dan ketidakpastian. Mereka tidak termotivasi oleh penghargaan dan hukuman.
Orang-orang pada tingkat Beige sampai Green tidak menyadari bahwa mereka ada pada tingkat tersebut. Hanya pada tingkat Yellow lah orang mulai menyadari semua ini karena mereka telah melewati semua tingkatan evolusi psikis ini. Mereka memahami apa yang dipikirkan oleh orang Purple dan Red; mereka paham mengenai konflik yang terjadi antara masyarakat Blue dan Orange seperti konflik global yang terjadi saat ini.
Yellow menyadari bahwa setiap tingkat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Mereka melihat sesuatu sebagai suatu sistem yang kompleks, sehingga mereka tidak akan gegabah dalam menentukan mana yang benar dan salah atau yang baik dan yang buruk.
Orang-orang bertransformasi ke Yellow ketika melihat bahwa Green terlalu idealis. Mereka berpikir bahwa kepedulian saja tidak akan mengubah dunia. Kita perlu memahami apa yang telah dan sedang terjadi dengan cara melihat segala sesuatu secara menyeluruh, melalui perspektif pihak-pihak yang berbeda.
Yellow tidak akan mudah tersinggung karena mereka memahami fluiditas emosi, dan mereka juga tidak terlalu arogan sebagaimana orang-orang Orange karena mereka tahu bahwa ada tingkatan lagi di atas mereka.
Yellow bersifat individualistis, sehingga mereka terlalu sering berada dalam kepala mereka sendiri. Mereka terlalu sibuk membangun sebuah model dan memahami berbagai cara untuk memahami realitas. Oleh karena itu, mereka terus berefleksi agar dapat bertransformasi ke tingkat selanjutnya.
Walaupun ada beberapa persen (>5%) individu yang mulai bertransformasi ke tingkat ini (Barrack Obama pernah disebut masuk ke dalam tahap ini), belum ada masyarakat yang sampai pada tingkat ini.
8. TURQUOISE
Turquoise bersifat Holistis. Ini adalah tingkat tertinggi dalam evolusi psikis manusia. Karena sangat sedikit atau bahkan belum ada individu dan masyarakat yang berada pada tingkat ini, Graves tidak memberi banyak catatan mengenai Turquoise.
Menurutku, para nabi merupakan beberapa individu yang telah mencapai tingkat ini. Ada sumber lain yang menyatakan bahwa Gandhi adalah seorang Turquoise.
***
Perlu dicatat bahwa:
1. Setiap individu atau masyarakat tidak berada hanya pada satu tingkat, melainkan berada pada beberapa tingkat berbeda, contohnya, Donald Trump: (secara kasar, dan agak asal-asalan) sebagian besar Blue (Meyakini supremasi ras dan agama tertentu) dan Orange (Kapitalis dan pebismis yang orientasinya pada profit), namun ada juga sebagian kecil Red (Impulsif) dan Green (aku tidak terlalu yakin dengan Green).
2. Setiap tingkat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Yang membedakan hanyalah kompleksitas. Tidak berarti yang satu lebih baik/pintar/superior daripada yang lain. Namun, individu pada tingkat yang lebih tinggi memiliki lebih banyak kerangka berpikir untuk dipilih dalam memandang suatu permasalahan.
3. Warna pada model ini dibedakan menjadi 2: warna hangat; Red, Orange dan Yellow (“ekspresi diri”) dan warna dingin; Purple, Blue, dan Green (“pengorbanan diri”). Dengan kata lain, perbedaan fokus adalah antara ‘Aku’ dan ‘Kita’.
4. Transformasi dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya berlangsung apabila seseorang telah menerima dan memahami konsep, serta kelebihan dan kekurangan tingkatnya berada. Bertransformasi tidak berarti meninggalkan tingkat sebelumnya, namun merekonsiliasi dan mengintegrasikannya.
5. Transformasi harus melalui setiap tingkat, tidak dapat meloncati tingkat tertentu.
6. Ketika kita mencoba menunjuk di mana tingkat kita, kecenderungannya adalah kita menunjuk 2 tingkat di atas tingkat kita sebenarnya (Jika menunjuk Yellow, kemungkinan kita Orange).
***
Menurutku, apa yang sedang terjadi di Indonesia adalah adalah pembagian kubu antar Blue dan antara Blue dengan Orange.
Antar kubu Blue, yang terjadi adalah perang antara orang atau kelompok orang yang yakin bahwa model/kerangka berpikirnya adalah yang bersifat absolut, objektif, universal, dan paling benar.
Sedangkan antar Blue dan Orange, menurutku yang sedang terjadi di banyak negara, selain di Indonesia. Blue menganggap bahwa Orange keblinger, hedonis, liberal, dan hanya mencari (kesenangan) dunia, dan merupakan ancaman yang akan menggerus kearifan lokal, sistem, dan generasi Blue selanjutnya. Orange menganggap Blue antiperubahan, kolot, dogmatis, dan tidak rasional.
Yang kulihat sekarang, perang tersebut sudah menjadi perang ego. Orang-orang membaca/mendengar hanya untuk merespon dan menyerang balik, bukannya untuk belajar dan memahami.
Padahal, menurutku banyak kelebihan masing-masing kubu yang dapat direkonsiliasi untuk menutupi kelemahan-kelemahannya. Aku ingat kata-kata dari Paulo Coelho, “bahkan jam rusak pun benar dua kali dalam satu hari”.
Kuharap, konflik dan perpecahan di negara ini segera berakhir.
______________________________________________________
____________________________
______________________________________________________
Labels: Expository , In Indonesian
The Train
At
times, I looked around. I saw a very beautiful landscape and locked my eyes on it,
trying to look at it as long as I could, but—puff!—it’s gone. Sometimes, I
stumbled and fell, dragged along the sharp rocks on the railway. Somehow, I
managed to stand and run again—for now. Perhaps, that is how it is and how it
should be. It comes and it goes. It happens. It changes and reshapes me. One day,
I would look into the mirror and mumble, ‘who is this man?’.
I
want to stop the train. It is not that I am tired, stressed out or depressed. I
just think that I don’t belong. There are better runners who do not have a
chance to get a train.
People
say that the train will eventually stop. There is last station where I can get
off the train and stay there. Others say that there is nowhere to stop. Both
the train and I will just disappear. Either way, for better or worse, there is
something in me which longs for it.