Rasional dan Irasional

Sebagai lulusan Bahasa dan Sastra Inggris, kerap kali teman-temanku meminta bantuanku untuk menyunting atau mengoreksi artikel, esai, dan bahkan skripsi (dalam Bahasa Inggris) mereka secara cuma-cuma. Bila aku sedang tidak banyak pekerjaan, biasanya dengan senang hati aku melakukannya. 

Aku terkadang bingung ketika mereka memaksa untuk membayar, aku bukanlah seorang penyunting—berbeda cerita bila mereka memintaku menerjemahkan teks. Alhasil, suasana hangat pertemananpun terlelan oleh kecanggungan. Hal yang menurutku paling aneh adalah aku bisa menerima jika temanku membayar dengan sesuatu yang bukan uang (makan siang, minuman, dsb) atau bahkan cuma-cuma, namun ketika mereka membayar dengan uang senilai Rp. 20.000 (seharga makan siang) atau lebih, aku mulai berpikir mengenai standar acuan upah penyuntingan, dan akhirnya menolak.

Aku suka menulis dan menyunting teks berbahasa Inggris; namun, ketika aku dibayar untuk itu, entah mengapa aku kehilangan ketertarikanku.

Di SMA, aku pernah belajar ilmu Ekonomi, dan aku tahu hal ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar Ekonomi bahwa manusia adalah mahluk yang rasional dan selalu berpedoman  pada cost and benefit

Aku lebih suka menggunakan istilah dalam versi Bahasa Inggisnya karena istilah versi Bahasa Indonesianya, ‘biaya dan manfaat’ menurutku kurang pas. Istilah ‘cost’ yang diartikan sebagai ‘biaya’, memiliki makna yang relatif lebih sempit karena istilah ini sangat erat kolokasinya dengan uang, padahal istilah ‘cost’ mengemban makna yang sangat luas. 

Dalam studi Ekonomi, hampir segala hal bisa dianalisis menggunakan kacamata ‘cost and benefit’ ini. Contohnya, menyikapi kebijakan Kemenkominfo baru-baru ini untuk memblokir Tumblr yang dituding banyak menyebarkan konten pornografi. Kebijakan Kemenkominfo ini menuai banyak kritik pedas karena cost-nya—memblokir Tumblr—dinilai tidak sebanding dengan benefit-nya—berkurangnya penyebaran konten pornografi. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa benefit yang diharapkan Kemenkominfo, tidak akan terasa karena banyak media lain selain Tumblr yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan konten pornografi tersebut, sehingga, yang terasa hanyalah cost-nya. 

Contoh lainnya adalah kebijakan  pejabat Disbudpar Kabupaten Bandung Barat mengenai kemacetan di Bandung pada Desember 2015 lalu. Saat itu, aku yang terjebak macet ketika sedang melakukan kegiatan pemanduan turis di Bandung, menyalakan radio untuk mendengarkan pantauan lalu-lintas. Pejabat dari Disbudpar, yang ketika itu diwawancara oleh radio Pikiran Rakyat, mengatakan bahwa cara agar Bandung tidak macet ketika musim liburan adalah dengan cara tidak pergi liburan ketika musim liburan. Beliau menambahkan bahwa jika ingin berlibur, sebaiknya ambil cuti kerja saja. Komentar ini, tentu saja terdengar sangat konyol karena cost-nya—menghimbau agar wisatawan tidak berlibur di saat liburan—sangat timpang dengan benefit-nya—tidak macet; terlebih, yang mengungkapkannya adalah seorang pejabat Disbudpar yang seharusnya mempromosikan pariwisata di Kota Bandung dan sekitarnya.

Sepertinya aku terlalu jauh ngelantur mengenai topik ini. 

Kembali pada bahasan mengenai mahluk Ekonomi yang seharusnya bertindak dan berpemikiran rasional.

Lantas, apakah tindakanku itu tidak rasional? 

Apakah tindakanku merupakan sebuah deviasi dari prinsip manusia yang merupakan mahluk ekonomi?

Perilakuku diatas tadi dapat dianalisis melalui kacamata Behavior Economics, atau Ekonomi Berbasis Perilaku.

Mazhab Ekonomi ini berbeda dengan aliran Ekonomi Konvensional yang telah aku jelaskan di atas. Berdasarkan dari apa yang aku baca, Behavioral Economics (aku memilih versi Bahasa Inggrisnya karena istilah Ekonomi Berbasis Perilaku sering tertukar dengan teori Perilaku Konsumen pada Ekonomi Konvensional) mengikutsertakan studi Psikologi dan Sosiologi ke dalam studi Ekonomi konvensional untuk menjelaskan alasan mengapa manusia membuat keputusan yang tidak rasional.

Oleh karena itu, tindakan tidak rasional yang aku jelaskan di awal tulisan ini jelas dapat dianalisis dengan menggunakan lensa Behavioral Economics.

Mengutip dari buku ‘Predictably Irrational’ yang ditulis oleh Dan Ariely, dalam satu waktu yang sama, kita hidup di dua ranah yang berbeda. Di ranah yang pertama, berlaku norma-norma sosial yang penuh dengan kehangatan dan persahabatan, serta kebutuhan sosial manusia untuk berkomunitas dan saling membantu. Seperti ketika kita meminta orang lain untuk membantu mengangkat sofa ketika pindah rumah, atau membantu orang yang mobilnya mogok di tengah jalan. Timbal-balik tidak diharapkan disini. Sesaat setelah aku membantu seseorang mendorong mobilnya yang mogok. Orang tersebut tidak semerta-merta harus mendorong mobilku—yang 1. tidak mogok, dan 2. Tidak ada (hehe)

Di ranah yang kedua, norma-norma pasar dan marketing yang berlaku. Di ranah ini, semuanya berlandaskan cost and benefit, seperti, upah, gaji, keuntungan, bunga, dsb. Contoh yang paling mudah adalah ketika kita bekerja, pasti kita mengharapkan upah. 

Bukanlah karena kebaikan hati seorang petani, kita dapat makan; dan bukanlah karena kebaikan hati seorang tukang GoJek, kita bisa sampai ke tujuan; melainkan karena prinsip pasar dan interdependensi.

Pada kedua ranah ini, tidak ada hal yang lebih baik atau buruk. Kita menentukan ranah mana yang akan kita jadikan sebagai pedoman berpikir dan berperilaku, dan kemudian perlu kita sesuaikan dengan konteks.

Di bukunya, Ariely memberi contoh ‘seks’ sebagai ilustrasi. Seks dapat berada di ranah manapun sesuai dengan konteks, dan sangat tidak dianjurkan untuk mencampuradukan kedua ranah ini. Kita dapat mendapatkan seks secara gratis di ranah sosial dimana kita mengharapkan hubungan emosional. Namun, ada juga seks di ranah dimana norma-norma pasar berlaku; seks yang harus dibayar. 

Singkatnya, tidak ada suami atau istri yang meminta bayaran kepada pasangannya; dan tidak ada juga PSK yang mengharapkan hubungan percintaan serius dan berkepanjangan dengan kliennya.

Pelanggaran terhadap kedua ranah ini acapkali terjadi, dan menimbulkan berbagai macam masalah. Bila ingin membuktikan, Anda bisa mengambil sejumlah uang, kemudian datangilah pacar Anda, setelah itu, keluarkan semua uang Anda sambil memintanya apakah ia mau melakukan hubungan seks dengan Anda bila anda bayar dengan sejumlah uang itu (sebaiknya Anda laki-laki dan pacar Anda perempuan, karena jika pacar Anda laki-laki, Anda tidak perlu mengiming-iminginya dengan uang (?) ). Contoh lain, cobalah Anda pergi ke lokalisasi dan setelah melakukan hubungan seks, katakanlah bahwa Anda tidak akan membayarnya karena Anda mencintainya, lihatlah reaksinya. 

Woody Allen, menjelaskan permasalahan ini dengan tepat “The most expensive sex is free sex” 
(sebenarnya aku ingin menerjemahkan kata-kata ini, namun cukup sulit untuk menimbulkan efek yang sama, karena kata 'free' dalam Bahasa Inggris dapat berarti 'bebas' dan 'gratis' secara bersamaan, jadi tidak jadi).

Kembali ke topik awal. Lantas mengapa aku lebih bersedia melakukan penyuntingan dengan hanya diberi jus seharga Rp. 6000 atau bahkan tidak diberi apa-apa, daripada dibayar dengan jumlah uang seharga jus itu? Atau mengapa aku lebih memilih melakukan sesuatu secara cuma-cuma?

Anda sudah tahu jawabannya.


0 comments :

Post a Comment

gmt time to est

Pengikut