Proaktif dan Reaktif


Saya sering berkunjung ke blog teman-teman saya untuk sekedar baca-baca, namun terkadang terasa merasa malas membacanya, bukan karena bahasa Inggrisnya tidak bagus, hanya saja terkadang saya merasa malas untuk membaca tulisan berbahasa Inggris—sehingga harus melakukan dua proses kognitif sekaligus. Jadi, walaupun tulisan berbahasa Indonesia saya tidak sebagus jika saya menulis dengan bahasa Inggris—yang sebenarnya memang belum bagus juga—kali ini saya menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia karena saya menganggap bahwa ini merupakan hal yang cukup penting untuk dibaca oleh teman saya yang bukan hanya dari jurusan bahasa Inggris.

Ada dua terminologi yang telah mengubah kehidupan saya—Reaktif dan Proaktif. Kerapkali saya menilai orang terlalu cepat dengan hanya memperhatikan dua tipe ini. Yaitu orang yang reaktif dan proaktif.

Saya sendiri mendefinisikan ‘reaktif’ sebagai perilaku yang didasari atas emosi, sehingga orang yang reaktif dalam menghadapi suatu masalah, cenderung tidak bisa menggunakan logikanya. Hal ini menyebabkan permasalahan tersebut bukannya terselesaikan, malah terasa semakin berat baik secara psikologis orang tersebut, maupun pada kenyataannya, karena memang psikologis akan memengaruhi realitas. Sedangkan ‘proaktif’ bermakna sebaliknya.

Sebagai contoh, karena saya tinggal di Bandung, macet sudah bukan hal yang baru, malah sudah menjadi bagian dari keseharian. Pada suatu hari, entah mengapa lalu-lintas bandung macet total, tingkat emosi para pengguna jalan pun saya rasa meningkat—diindikasikan banyaknya frekuensi klakson dan umpatan-umpatan mereka—namun, berteriak dan marah-marah tentu saja tidak bisa mengubah macet; yang ada malah membuat situasi semakin parah. Pada saat itu saya coba untuk tenang dan berdiam diri, buat apa marah-marah? Memang itu bisa mengubah keadaan? Pada saat itu, seketika saya memaksa alam bawah sadar saya untuk tenang, dan dampaknya malah saya tidak merasa kesal sama sekali.

Pernah, pada suatu pagi, konsentrasi saya di kelas hancur hanya karena perasaan kesal atas kemacetan, saya merasa bodoh sekali pada saat itu karena suasana hati saya sendiri yang telah merusak kesempatan otak saya untuk mencerna materi kuliah pada saat itu, sejak saat itulah saya tidak pernah menyia-nyiakan potensi otak saya yang maksimalnya saja hanya bisa digunakan beberapa persennya saja.

Contoh lainnya, baru-baru ini ketika saya medaftar KKN, saya menghadapi suatu hasil yang mungkin sebagian orang mengganggap ini hal penting. Pendaftaran KKN dibuka pukul 4 sore, dan seketika seluruh mahasiswa—khususnya mahasiswa UPI angkatan 2011—berlomba mendaftar di daerah yang menjadi favorit mereka. Karena pedaftarannya dilakukan secara online, pada saat itu, saya sudah bersiap-siap didepan laptop agar tempat tujuan saya tidak keburu penuh.

Setelah cukup lama menunggu akhirnya pendaftaran KKN pun dibuka, ternyata pada dua menit pertama, tempat tujuan saya sudah penuh kuotanya sehingga saya mencoba memilih tempat tujuan saya yang kedua, namun sayangnya, tempat kedua pun telah penuh. Kemudian saya melihat-lihat lokasi KKN yang lainnya yang mulai dipenuhi juga.

Karena terlalu lama berpikir, ternyata hampir semua lokasi yang tersedia sudah penuh dan hanya tersedia satu lokasi—lokasi yang paling tidak diinginkan—yang sebelumnya sering saya lontarkan sebagai bahan bercandaan kepada teman-teman saya.

Disitu, saya bisa saja menangis dan menyesali keterlambatan dan ke-plin-plan-an saya dalam memilih. Namun saya menyadari bahwa hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, yg ada malah membuat saya tidak bisa berpikir dengan jernih. Pada saat itu, analisis situasional saya malah menyuruh saya untuk tidak memilih lokasi manapun. Selanjutnya, saya rasa saya tidak perlu menceritakan bagaimana saya akhirnya bisa mendapatkan lokasi yang lebih baik daripada yang bisa saya dapatkan pada saat itu.

Ketika menghadapi suatu permasalahan, ada dua metode yang bisa digunakan. Orang-orang reaktif akan mencari letak dan penyebab permasalahan untuk disesali (problem-oriented). Sedangkan orang-orang proaktif akan mencari solusi yang memungkinkan yang bisa diterapkan untuk memecahkan masalah (solution-oriented).

Saya teringat kepada Sherlock Holmes—satu-satunya tokoh favorit saya—yang sering mengatakan bahwa emosi adalah hal yang merusak logika dan analisisnya, dan hal inilah yang menyebabkannya tidak mau berpacaran, menikah, ataupun mengenal cinta dan hal lainnya yang menyangkut perasaan dan emosi—yang didefinisikannya sebagai ‘Human Error.’ Hal ini bisa dilihat dari, satu-satunya titik lemah Holmes yang notabene merupakan sahabatnya sendiri, John Watson.

Menjadi orang yang proaktif merupakan hal yang sangat ingin saya terapkan dalam kehidupan saya. Ketika dihadapkan kepada permasalahan seperti apapun, saya akan berusaha tetap tenang untuk mencari jalan keluar untuk memecahkannya. Hal ini juga lah yang menyebabkan saya sering menyendiri. Jadi, teman-teman, ketika saya menyendiri, itu tandanya saya sedang memikirkan suatu solusi untuk memecahkan sebuah permasalahan yang besar (saya selalu merasa bahwa permasalahan saya adalah tanggungjawab saya), namun ini tidak semerta-merta berarti bahwa saya tidak pernah bercerita ataupun meminta saran dan bantuan teman-teman saya; semakin saya diam dan menyendiri, semakin besar pula lah permasalahan yang sedang saya hadapi.

Semuanya ada didalam kepala kita, yang perlu kita lakukan adalah memaksimalkan pemikiran kita dengan cara memperkecil tingkat bias-bias emosi yang akan memengaruhi analisis dan solusi yang sedang kita pikirkan.

Sekali lagi saya ingin mengingatkan kepada semua teman-teman saya bahwa ketika saya menyendiri dan diam tak berekspresi, atau tidak tertawa mendengar lelucon-lelucon orang, itu bukan berarti saya mencoba menjadi orang yang sok cool atau apalah itu, saya hanya ingin berdialog—dalam jangka waktu tertentu—dengan bagian diri saya yang lain.


N.B. Saya membaca materi tentang proaktif dan reaktif beberapa tahun yang lalu, dan saya lupa dari buku apa, karya siapa. Bukunya pun sudah tidak ada. Namun yang pasti, tulisan ini hanyalah ekspresi, interpretasi, dan representasi dari saya atas ide milik orang lain—bukan ide saya.



0 comments :

Post a Comment

gmt time to est

Pengikut