Tentang Pengorbanan

Manusia modern mungkin menganggap ritual pengorbanan yang telah dilakukan oleh manusia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu sebagai hal yang gila dan tak masuk akal. Mereka mengorbankan apa yang mereka cintai, miliki dan bahkan diri mereka sendiri kepada suatu entitas transendental sebagai pembuktian loyalitas dan kebaktian mereka atau agar keinginan-keinginan mereka terpenuhi.

Dalam tradisi agama Samawi, pengorbanan sudah mulai dilakukan oleh putera-putera Adam, Habil yang seorang peternak mengorbankan kambing dan Qabil yang seorang petani mengorbankan hasil taninya. Namun Tuhan hanya puas dan menerima pengorbanan Habil (karena dia mengorbankan miliknya yang terbaik, sedangkan Habil tidak). Bahkan dalam Islam, ada hari besar untuk memperingati kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan Ismail, anak kesayangannya. Selain itu, pengorbanan benda dan manusia telah dilakukan kepada sosok gaib di Yunani, Mesir, Arab, Amerika Kuno dan berbagai zaman serta kebudayaan lain.

Gasasan dibalik pengorbanan yang paling kukagumi adalah keseriusan yang ditanam dalam setiap ritual yang orang-orang itu lakukan. Aku tidak pernah merasa dapat membuktikan keseriusan dan kebaktianku—setingkat dengan mereka—pada entitas transenden yang kuimani.

Walaupun pengorbanan yang dilakukan dahulu dan sekarang berbeda, namun secara filosofis, keduanya dilakukan untuk memastikan—atau menjaga kemungkinan—suatu kondisi yang lebih baik atau positif di masa depan, baik moril atau materil. Hal ini dilakukan dengan cara mengorbankan ‘masa kini’. Ada banyak hal yang secara simbolis ternyata termasuk ke dalam kategori pengorbanan. Salah satu bentuknya adalah yang mengakibatkan rasa sakit, seperti ritual khitan di mana laki-laki, pada umumnya, mengorbankan bagian tubuhnya sebagai bentuk keseriusan ibadah atau memastikan suatu kondisi medis yang lebih baik di masa depan. Ada pula kegiatan menato tubuh yang merupakan suatu transformasi identitas diri menjadi manusia yang mendesain dirinya sendiri. Tentu saja proses pentatoan tersebut mengakibatkan rasa sakit, namun itulah pengorbanannya, rasa sakit itu penting sebagai tanda pengingat, secara simbolis, adanya suatu tekad dan keseriusan mengenai transformasi diri.

Aku rasa bekerja merupakan suatu pengorbanan di mana orang-orang mengorbankan waktu, tenaga, dan kesehatannya untuk menjaga kemungkinan bahwa di masa depan, kehidupan mereka atau penerus mereka akan lebih baik. Jika bekerja adalah suatu pengorbanan, maka negara adalah badan yang menyimpan pengorbanan-pengorbanan manusia. Suatu negara dapat dikatakan stabil apabila negara tersebut dapat menyimpan pengorbanan masyarakatnya serta tetap menjanjikan ganjaran dan jaminan di kemudian hari, itulah yang menyebabkan masyarakat tetap melakukan pengorbanan yang menggerakan roda peradaban.

Aku sering mendengar ungkapan bahwa hidup itu cuma sekali, oleh karena itu, nikmatilah hidup! Lakukanlah apa yang membuatmu senang dan bahagia saat ini juga! Filosofi ini yang mungkin menjadi antitesis dari perkembangan, karena perjuangan, dengan cara belajar, bekerja, memulai bisnis, berperang, sampai beribadah pun membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan adalah perjuangan antara kenyamanan masa kini dan janji-janji masa depan, yang selalu dimenangkan oleh masa depan.

________________________________________
_______________________
________________________________________




Aku merasa ada suatu mekanisme primitif, yang lebih tua dari diriku sendiri, yang tidak boleh diabaikan. Mekanisme hewani yang menuntutku untuk menggenggam apapun yang membuatku bahagia saat itu juga. Aku tahu jawabannya adalah ekuilibrium. Namun, banyak hal bersifat terlalu dikotomis, yang tak ada titik tengahnya.






gmt time to est

Pengikut