Tentang Kematian


Kematian

Secara umum, kematian merupakan momok yang ditakuti oleh semua orang. Namun, sampai tingkat tertentu, kita tidak percaya bahwa kita akan mati. Bila iya, kita akan ketakutan setiap hari. 

Mungkin ini memang suatu upaya yang dilakukan oleh sel-sel dalam tubuh kita agar kita dapat berfungsi secara normal. Atau mungkin, sel-sel kita memang takkan pernah mati, hanya berubah.

Kita Semua Mati Sendirian

Menurut Prof. Shelly Kagan dalam sebuah kuliah terbuka tentang filsafat di Universitas Yale, kematian itu menakutkan karena kita mati sendirian, dalam sepi. 

Sepanjang hidup kita, kita telah hidup berdampingan dengan orang lain. Pasti sangat menakutkan bila akhirnya kita mati sendirian.

Walaupun kebanyakan orang mati dihadapan kerabat/keluarganya, tetap saja kita sendiri yang mati.

Walaupun kita mati di arena perang bersamaan dengan orang lain, tetap saja proses kematian itu akan kita hadapi masing-masing karena kematian tak dapat diberikan pada orang lain.

Walaupun pada abad pertengahan, tempat seseorang di guillotine dapat digantikan oleh orang lain, tetap saja, takkan ada yang bisa mengambil kematian kita karena setiap orang memiliki kematiannya sendiri.

Jika seseorang menempati tempat kita saat makan siang, dia menyantap makan siangnya untuknya, bukan makan siang kita untuk kita.

Kita akan mati sendirian.

Katanya, ketika kita mati, kita akan merasakan kesendirian, keterkucilan, dan ‘terpisah’ dari orang di sekitar kita. Namun, tidak semua orang akan merasakan hal seperti ini, contohnya adalah orang yang meninggal ketika sedang tidur atau yang malah mengundang orang-orang terdekatnya untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Kita Mengharapkan Eksistensi Jiwa

Sebegitu takutnya kita akan kematian sehingga kita sangat berharap bahwa kita bukan hanya raga yang memiliki fungsi-fungsi hebat, namun kita juga punya jiwa. Kita berharap bahwa setelah kematian, jiwa kita akan menuju kehidupan yang abadi.

Jika tidak ada kehidupan yang abadi untuk jiwa kita, berarti kematian adalah akhir dari semua. Berarti kehidupan hanyalah serangkaian hal-hal tak bermakna.

Sangat depresif!

Kematian Tidaklah Buruk Bagi Yang Meninggal, tapi Buruk Bagi Yang Ditinggalkan

Pada situasi tertentu, mungkin kita pernah berpikir bahwa tidak apa-apa jika kita harus mati, yang kita takutkan adalah apa yang akan dilakukan keluarga/kerabat kita jika kita mati.

Ada dua skenario:
  1. Saudara kita akan pergi untuk melakukan eksplorasi galaksi. Mungkin kita takkan pernah bisa bertemu/berkomunikasi lagi.
  2. Saudara kita akan pergi untuk melakukan eksplorasi galaksi. Roketnya meledak sesaat setelah diluncurkan.

Tentu saja skenario kedua lebih menyedihkan. Kesimpulannya, bukanlah perpisahan yang menyedihkan, melainkan perasaan orang yang ditinggalkan ketika mereka meratapi orang yang meninggal.

Kematian Merenggut Keindahan Hidup

Kematian itu buruk karena dia merampok sebuah keindahan hidup yang mungkin akan kita alami.

Kapanpun kita mati, kita akan memandangnya sebagai sesuatu yang buruk. Jika kita mati pada usia 20, kita mati terlalu muda. Jika kita mati pada usia 50, kita berharap punya waktu 10 tahun lagi. Jika kita mati di usia 90 tahun, tetap saja, kita akan merasa kurang.

Oleh karena itu, keabadianlah jalan satu-satunya.

Kita Tidak Benar-Benar Ingin Hidup Abadi

Jika kita diberi kebebasan untuk memilih jatah usia, mungkin kita akan memilih ‘tak terbatas’, tapi sebenarnya keabadian tidaklah seindah yang kita bayangkan. Bayangkan saja kita semakin tua, semakin ringkih, dan semakin pikun; organ-organ di tubuh kita tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya; daya indera kita semakin berkurang, namun kita tak akan pernah mati. 

Menyeramkan, bukan?

Pada saat itulah, mungkin, kematian hadir sebagai anugerah yang membebaskan kita dari jeratan penderitaan abadi seperti itu.

Sejatinya, kita ingin hidup abadi tanpa mengalami penuaan. Bagai para vampire dalam Twilight Series. Mungkin, karena itulah konsep ‘surga’ menjadi secercah cahaya di ujung jalan. Cahaya yang dapat menerangi semua angan-angan dan pertanyaan terbesar umat manusia.

Namun, tetap saja tidak ada kehidupan abadi yang akan selamanya bahagia. Akan ada saatnya kita mencari suatu akhir di kehidupan yang tanpa akhir itu, bahkan di surga, mungkin. 

Aku pernah berpikir bila aku berada di surga, bernyanyi selamanya, tidur bersama 72 bidadari selamanya, duduk-duduk sambil membaca di taman Firdaus selamanya, makan makanan dan minum minuman favoritku selamanya, memainkan game favoritku selamanya, berjalan-jalan di hamparan taman bunga selamanya, mendengar deburan ombak dan retihan api unggun selamanya, tidur-tiduran di bawah bintang-bintang selamanya… selamanya. 

Selamanya! 

Menurutku, setelah 100 atau 1000 tahun, aku akan mulai bosan, dan berharap agar aku lenyap, seperti sebelum aku dilahirkan.

***

Walaupun aku tidak ingin orang-orang terdekatku mati, bagiku, kematian jika dilihat dari perspektif tertentu, tampak indah. Bagiku, kematian adalah sebuah sensasi yang menggairahkan. 

Bayangkan, kita bisa mati kapanpun dan di manapun!

Kematian itu menggairahkan! Mungkin itulah mengapa orang rela lompat dari pesawat hanya dengan beberpa helai kain, memacu kendaraannya untuk kesenangan, dan melakukan hal-hal lain yang menyimpan risiko kematian tinggi.

Dalam ilmu ekonomi, kita tahu bahwa nilai suatu komoditas akan melonjak apabila komoditas itu langka, singkat atau mudah rusak. Sama halnya dengan kehidupan. Hal-hal itulah yang membuat kehidupan menjadi sesuatu yang berharga.

Aku bersyukur atas apa yang sudah, sedang, dan akan aku alami. Kapanpun akhirku, aku akan merasa cukup.


______________________________
________________

______________________________




Tentang Bunuh Diri

Kapankah saat yang tepat untuk melakukan bunuh diri?


Beberapa bulan lalu aku mengikuti sebuah kuliah Filsafat di Yale University Open Course. Terdapat sekitar 20 materi kuliah yang setiap sesinya berlangsung selama kurang lebih 50 menit. Kala itu, aku tak punya banyak waktu untuk mempelajari semuanya, sehingga akupun hanya memilih beberapa sesi yang menarik perhatianku saja: Bunuh Diri bagian I dan II.

Menurut Prof. Shelly Kagan, Bunuh Diri selalu diasosiasikan dengan suatu irasionalitas dan/atau imoralitas. Malah, ketika tindakan bunuh diri itu rasional, perbuatan tersebut tetap saja kerap dianggap imoral.
Contohnya, pasien yang mengalami koma selama bertahun-tahun atau yang sangat tersiksa oleh penyakitnya (yang bahkan belum ada obatnya), kerabatnya pasti akan menginginkan pasien tersebut terus hidup.

Lantas, bagaimanakah perbuatan bunuh diri itu  jika dilihat secara moral dan rasional?

Moralitas

Dari perspektif moralitas, tentu saja, tindakan bunuh diri itu dianggap buruk karena tindakan tersebut dinilai melanggar kodrat/kehendak Tuhan. Kehidupan dianggap sebagai sebuah kado yang diberikan untuk kita. Namun, bagaimana jika kita tidak menyukai kado tersebut?

Bagaimana jika orang memberi makanan yang tak kita sukai? Apakah harus kita habiskan?
Entahlah.

Kemudian, tindakan bunuh diri kerap diasosiasikan dengan tindakan yang egois karena tindakan tersebut hampir selalu melukai keluarga, kerabat dan orang yang menyayangi kita. Si pelaku bunuh diri selalu digambarkan sebagai orang yang gegabah/tidak peduli terhadap perasaan orang lain.
Orang bilang, “Pembunuhan itu hal yang buruk, maka membunuh diri sendiri juga buruk.”

Namun, bagaimana jika tindakan bunuh diri itu kita lakukan untuk mengakhiri penderitaan? Bagaimana jika kita bunuh diri untuk menghindari kehidupan yang lebih buruk? 

Aku sering mendengar bahwa 'persetujuan' dapat memutarbalikan moralitas. Pembunuhan atas bandar narkoba yang diberi persetujuan oleh negara dapat diterima oleh masyarakat. Pembunuhan orang-orang komunis beberapa dekade silam pun dapat dianggap wajar dengan persetujuan dari pemerintah pada saat itu. Di arena tinju, orang dapat saling memukul karena ada persetujuan, tidak seperti di jalan raya/sekolah/kantor.

Namun, bunuh diri yang notabenenya mendapat 'persetujuan' dari si pelaku, perlu dipertimbangkan pula usia, kesehatan psikis, rasionalitas, dan pengalaman orang tersebut. Selain itu, konsep 'persetujuan' dalam konteks ini juga dapat diperdebatkan, bayangkan saja jika tiba-tiba ada orang yang memberi kita izin untuk membunuhnya.

Sejatinya, membahas persoalan tindakan bunuh diri melalui perspektif moralitas memang tak akan pernah habis.

Rasionalitas

Ketika mempertanyakan rasionalitas dari perbuatan bunuh diri, kita karus mempertimbangkan dalam keadaan bagaimanakah bunuh diri itu tepat dan dapat diterima akal sehat. 

Namun, permasalahannya adalah apakah kita bisa mempercayai pertimbangan kita?

Salah satu cara mempertimbangkannya adalah dengan cara memeriksa keadaan kita sekarang dan keadaan yang mungkin terjadi kemudian; apakah lebih baik atau malah lebih buruk. Jika lebih buruk, lebih baik mati saja!

Dalam kelas filsafat ini, kematian dianggap sebagai suatu ketiadaan. Sebuah bilangan nol. Oleh karena itu, jika setelah mempertimbangkan, kehidupan kita akan semakin memburuk, kita lebih baik mati, karena nol lebih baik daripada negatif.

Berikut adalah diagram kapan waktu yang tepat untuk melakukan bunuh diri.


Gambar 1

Keterangan:

  1. Garis horizontal menunjukan usia seseorang yang bergerak dari kiri ke kanan; dari lahir hingga meninggal.
  2. Garis vertikal di sebelah kanan menunjukan batas usia seseorang. Pada contoh di atas, usia orang tersebut adalah 80 tahun ketika ia mengalami kematian normal (tidak karena bunuh diri/dibunuh).
  3. Garis vertikal di sebelah kiri menunjukan kualitas hidup seseorang; semakin tinggi, semakin bahagia orang tersebut.

Pada contoh di atas, terdapat dua orang yang memiliki kehidupan yang berbeda. Orang pertama (garis atas) memulai hidup dengan kualitas yang sangat baik, namun seiring berjalannya waktu, kualitas kehidupannya mengalami penurunan. Namun, jika ia bunuh diri pada titik A, ia akan mengalami kerugian karena sisa kehidupannya masih relatif baik (berada di atas garis tengah).

Berbeda dengan orang kedua, pada contoh ini, tindakan bunuh diri merupakan suatu hal yang rasional karena di penghujung hidupnya, ia hanya akan mengalami kemerosotan kualitas hidup. Lantas, kapan waktu yang tepat untuk bunuh diri? Pada titik B, tindakan bunuh diri dianggap tdak tepat, karena dia akan kehilangan beberapa tahun masa hidupnya yang masih berada di atas garis horizontal, walaupun semakin memburuk. 

Pada titik D, tindakan bunuh diri sudah terlambat. Pada titik C lah waktu yang paling tepat, karena, secara umum, ketiadaan dianggap lebih baik daripada kehidupan yang berada di bawah garis horizontal.


Gambar 2
Pada gambar kedua, situasinya sedikit berbeda. Orang ini terlahir dalam situasi yang relatif buruk. Kemudian, kehidupannya membaik seiring berjalannya waktu dan walaupun kehidupannya mengalami keadaan sulit, di  akhir hayatnya, dia akan hidup bahagia.

Ketika melewati titik Y, kehidupan orang tersebut akan semakin merosot sampai berada di titik nadir. Namun, jika ia memilih melakukan bunuh diri, dia akan melewatkan masa-masa indah di masa akhir kehidupannya.

Seperti inilah kehidupan kita. Hanya saja, kita tidak mengetahui diagram kehidupan kita. Ketika hidup kita menanjak, kita lupa bahwa kita mungkin akan jatuh; dan ketika kita jatuh, kita lupa bahwa mungkin nanti kita akan naik.

Menurutku, bunuh diri hampir selalu bukanlah hal yang tepat. Karena 1) kita tidak bisa memprediksi garis kehidupan kita; 2) seterjal apapun jalan hidup kita sekarang, selalu ada kemungkinan bahwa suatu saat (sebelum kematian normal) garis kehidupan kita akan menanjak; dan 3) kita nyaris tak akan bisa mempertimbangkan hal ini karena faktor psikis, ketenangan, pengalaman dan usia kita; sehingga, sangat sulit untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jernih tentang jalan keluar apa yang paling rasional. Dalam hal seperti ini, bahkan diri sendiripun tidak bisa kita percayai.

Aku menyayangkan banyaknya angka bunuh diri orang-orang yang berumur relatif muda. 

Mungkin saja kehidupan mereka hanya sedang mengalami suatu penurunan kecil.

Mungkin juga tidak.

Tak ada yang tahu.




___________________________
_________________
___________________________



gmt time to est

Pengikut