Realitas objektif
Berdasarkan dari apa yang aku pelajari, (hampir (?)) tidak mungkin manusia mencapai (memahami) realitas objektif. Apa yang kita persepsikan sebagai sesuatu yang benar, realitas, atau kebenaran, hanyalah sesuatu yang kita simpulkan menggunakan nalar, pengalaman, dan ilmu kita yang melahirkan realitas-realitas yang bersifat subjektif dan disipliner. Lantas, orang yang memiliki pengalaman berbeda dan mempelajari hal yang berbeda sangat mungkin mempersepsikan sesuatu sebagai realitas yang berbeda pula.
Padahal, mengutip dari David Mitchel, dalam Cloud Atlas, “realitas itu singularis, versi-versi dari realitas adalah ‘bukan realitas’”.
Agama dan Kepercayaan
Agama memiliki realitas objektifnya masing-masing. Jangankan realitas dalam semua agama. Realitas objektif antar tiga agama besar Samawi saja sudah berbeda. Lantas, apa yang terjadi jika para pengikut suatu agama memaksakan realitas agamanya terhadap agama lain? Jangankan dari tiga agama sejenis tersebut, dalam satu agama saja—yang memiliki kitab yang sama—ada berbagai versi-versi realitas yang sering menciptakan konflik dalam agama.
Mari kita kaji lebih dalam lagi kitab yang kita percayai.
Kebebasan
Ketumpangtindihan realitas ini tidak hanya terjadi secara inter-religius ataupun intra-religius, namun juga antara agama dengan paham ‘kemanusiaan’ yang mengedepankan kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Dalam kacamata agama, dalil dan peraturan-peraturan yang mencakup perintah dan larangan itu berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Namun, kerapkali apa yang benar menurut agama tersebut tidak sejalan dengan apa yang benar dari perspektif paham ‘kemanusiaan’
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan ketuhanan, dimana penduduknya harus (?) bertuhan—yang berarti, rakyatnya berpedoman pada dalil-dalil agama. Pada saat yang bersamaan, Indonesia juga menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, dan Hak Asasi Manusia.
Sebagai Muslim, aku kerap dibingungkan oleh beberapa fenomena ‘abu-abu’ yang terjadi belakangan ini, seperti fenomena pelarangan minuman beralkohol. Sangat banyak orang dan bahkan Muslim yang melontarkan kritikan pedas pada agamanya sendiri mengenai fenomena ini karena selain banyaknya varietas tanaman penghasil arak atau minuman tradisional beralkohol lainnya yang merupakan potensi, banyak pula petani yang kehilangan mata pencahariannya ketika arak yang mereka produksi diilegalkan.
Fenomena LGBT
Bagaimana dengan fenomena LGBT? Apakah agama dan budaya ketimuran merupakan tokoh antagonis yang merampas hak asasi para LGBT ini?
Mana yang benar? Perspektif apa yang harus aku pilih? Apa realitas objektifnya?
Ada yang percaya pada realitas bahwa LGBT merupakan penyakit atau gangguan kejiwaan, ada pula yang percaya jika itu sudah merupakan hakikatnya. Ada yang berargumen bahwa hewan saja tidak ada yang melakukan hubungan seks sesama jenis. Kemudian dibalas dengan artikel bahwa beberapa persen simpanse, lumba-lumba, jerapah, singa, dan paus melakukan hubungan homoseksual. Ada realitas bahwa perilaku homoseksual itu menular, ada yang bilang tidak… dan seterusnya…
Seumur hidupku, sudah belasan kali aku didekati oleh seorang pria homoseksual, namun, pada akhirnya, walaupun risih (karena aku seorang heteroseksual), rasa penasaranku berhasil membawaku pada suatu realitas-realitas kecil di benakku. Ada sekitar lima gay dari beberapa orang gay yang bisa aku ajak bicara, mengaku bahwa mereka mengalami pelecehan seksual oleh kerabat atau teman sepermainan mereka (biasanya yang lebih tua) ketika mereka masih kecil. Bahkan, ada juga yang mengaku pernah membius seorang pria heteroseksual, dan menidurinya, yang kemudian bergabung ke komunitas homoseksual mereka. Memang, terkadang korban—entah karena tekanan psikologis apa yang terjadi pada mereka—memiliki hasrat untuk menjadi pelaku atas apa yang pernah mereka alami.
Sekitar dua tahun lalu, aku pernah kehilangan ponsel dan sejumlah uang—yang aku dapat dari hasil kerja keras sendiri selama beberapa bulan—ketika di dalam bus dalam perjalanan pulang dari luar kota. Selain itu, sekitar empat tahun sebelumnya, hal yang sama juga pernah terjadi, walaupun caranya berbeda. Sesaat setelah itu, tumbuh sebuah pikiran liar di pekarangan akalku bahwa mengambil barang orang lain itu sangatlah mudah, aku tidak perlu bekerja berbulan-bulan. Pada malam hari, aku bisa merampok siapa saja (yang terlihat lemah), aku hanya perlu senjata tajam, tongkat, ataupun batu. Namun, untungnya aku masih bisa berpegang teguh pada sesuatu yang aku anggap benar.
Akupun kembali bekerja keras.
Pengalaman singkat tadi itu hanyalah realitas subjektifku. Mungkin memang perilaku seperti itu bisa menular (tidak menular seperti penyakit flu, lho), mungkin juga tidak. Aku tidak ingin terlalu berkoar-koar atas apa yang aku pahami secara parsial. Aku bukan seorang ahli Behavior Psychology yang memahami cara berpikir dan perilaku seseorang, ataupun ahli Neurologi (atau apalah itu) yang bisa mengetahui struktur otak seseorang.
Walaupun aku seorang ahli sekalipun, sangat mungkin bahwa analisaku dibiaskan oleh agamaku, kepentingan politikku, atau sesederhana bila aku punya beberapa teman atau musuh yang merupakan LGBT.
Keyakinan akan Suatu Realitas
Aku ingat pada kisah Galileo yang dihukum mati (atau hampir?) ketika dia mencoba membuktikan bahwa bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Namun, karena gagasannya itu terlalu radikal, dan karena Gereja Katolik Roma sangat yakin akan realitasnya bahwa matahari mengelilingi bumi, Galileo malah dianggap melakukan bid’ah dan mendapat hukuman.
Bagaimana dengan rezim Soeharto yang membinasakan ratusan ribu orang yang menurut realitas pribadi atau golongan Pak Harto layak untuk ditumpas?
Bagaimana dengan sejumlah kasus salah tangkap yang dilakukan oleh beberapa oknum polisi karena apa yang mereka yakini sebagai kebenaran, dan ternyata salah?
Bagaimana dengan ratusan ribu (atau jutaan?) warga Iraq yang dibantai karena realitas yang dipercayai sejumlah petinggi di Amerika Serikat bahwa para teroris 9/11 berada di sana dan dibiayai oleh Iraq?
Aku sangat sadar—dan ingin mencoba lebih sadar—mengenai bagaimana rumitnya cara pikiranku menyimpulkan hal-hal yang berada di sekitar. Aku sadar betul bahwa aku tidak akan pernah mencapai suatu realitas objektif yang secara otomatis selalu tersaring dan terdistorsi oleh lensa-lensa dan pola pikir, serta bias-bias media, orang lain, atau aku sendiri; atau mungkin karena realitas objektif berada di suatu tempat agung yang tak dapat diraih oleh jangkauan horison pengetahuanku yang parsial, dan ragaku yang fana.
Mengutip dari Mark Twain, yang dikutip di film The Big Short (salah satu film yang aku tonton lebih dari sekali agar aku mengerti):
“it ain’t what you don’t know that gets you into trouble. It’s what you know for sure that ain’t so.”
Yang dalam Bahasa Indonesia, kira-kira padanan kata-katanya:
“Yang jadi masalah itu bukanlah yang tidak kau ketahui, melainkan, yang kau yakini sepenuh hati, dan ternyata tidak benar.”